Rabu, 11 Juni 2008

Hutan Di Kelola

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat
Oleh : Jomi Suhendri. S

Dalam banyak kasus, kekayaan hutan alam Indonesia seringkali menimbulkan konflik di tengah masyarakat, baik konflik antara pemerintah dengan masyarakat maupun konflik antara masyarakat dengan masyarakat itu sendiri. Dari sekian banyak konflik yang sering mencuat ke permukaan, konflik yang berkaitan dengan pengelolaan hutan merupakan hal yang paling sering terjadi.
Dampak dari konflik itu, tak jarang menimbulkan berbagai dampak yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat itu sendiri, seperti hilangnya akses masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Padahal, selama berabad-abad mereka telah menggantungkan kehidupannya pada hutan dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Berangkat dari persoalan itulah, semestinya pemerintah harus mendorong lahirnya kebijakan pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat.
Di Sumatera Barat (Sumbar), sistem pengelolaan hutan berdasarkan kearifan lokal dan diatur menurut ketentuan hukum adat setempat telah lama ada. Dalam hukum adat Minangkabau, hal itu dikenal dengan istilah ‘tanah ulayat’. Tanah ulayat secara sederhana bisa diartikan sebagai satu kesatuan wilayah yang mempunyai hak, baik itu hak ulayat kaum, hak ulayat suku maupun hak ulayat nagari. Tanah ulayat bisa berupa hutan maupun parak (kebun), sawah dan fungsi lainnya, yang secara arif difungsikan oleh masyarakat adat di Sumbar sesuai dengan kebutuhan dan ekologi.
Konsep pengelolaan hutan seperti itu sebenarnya sudah ada dalam masyarakat adat yang diwariskan secara turun temurun. Bahkan, hingga saat ini, konsep pengelolaan hutan yang berdasarkan pada kearifan lokal ternyata mampu membuktikan kalau pengelolaan yang berbasiskan pengalaman, pengetahuan dan teknologi lokal mampu meningkatkan ekonomi masyarakat, serta menjaga fungsi ekologi hutan dan tidak melulu eksploitatif. Kita bisa melihat konsep pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat adat di Koto Malintang, Kabupaten Agam, Sumbar. Di daerah ini, sistem pengelolaan hutannya dikenal dengan istilah ‘parak’, istilah yang dikenal luas di Minangkabau. Parak di Koto Malintang ini menghasilkan hasil hutan yang khas, baik untuk dijual maupun untuk kebutuhan harian, termasuk kayu bangunan, kayu bakar beserta hasil hutan ikutan seperti buah hutan liar dan sayuran, bahan obat dan lain-lain.
Di dalam parak juga ditanami pohon-pohon jenis usaha tani seperti durian, kayu manis, pala, kopi dan tanaman buah budi daya serta tanaman berumur pendek seperti cabai, tanaman berumbi, kacang-kacangan. Dalam parak, pola produksi dan perkembangan spesies mirip dengan yang terjadi pada ekosistem hutan alami. Ternyata pengelolaan hutan seperti ini bisa menjaga kelestarian hutan tanpa merusak ekosistem yang terdapat didalamnya. UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan seharusnya bisa memberikan jaminan kepada masyarakat baik dari segi kepemilikannya, penentuan kawasan dan hak pengelolaannya.
Akan tetapi, sebagai dasar pengaturan tentang hutan, dalam UUK ini masih terdapat kelemahan-kelamahan dalam penghormatan terhadap hak masyarakat adat. Salah satunya tercermin dengan tidak diakuinya status hutan adat.Walaupun dalam pasal 5 ayat 2 dijabarkan bahwa hutan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat tapi itu tidaklah cukup untuk melindungi dan menghormati hak masyarakat adat terhadap hutan, karena secara tersirat negara disatu sisi berusaha untuk menghilangkan keberadaan hutan adat. UUK ini bila kita lihat dari substansinya secara politik hukum masih menganut paradigma pengelolaan hutan yang masih didominasi oleh negara dan tidak mengarah sisitim pengelolaan hutan berbasis pada masyarakat adat.
Dalam UUK kehutanan ini juga tergambarkan masih kuatnya keinginan pemerintah dalam hal ini Dephutbun untuk tetap mempertahankan kontrol dan penguasaan terhadap kawasan hutan dan sumber daya hutan. Semangat kontrol dan penguasaan ini terlihat dari pasal 4 mengenai penguasaan kehutanan.Menurut saya, sudah saatnya pemerintah melakukan revisi terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan ini agar kepentingan masyarakat adat terlindungi dan akses masyarakat adat terhadap hutan dalam pengelolaan hutan lebih besar.Konsep pembangunan dan pengelolaan hutan untuk masa depan harus mengalami reformasi total menuju kepada pemberdayaan masyarakat sekitar. Kegagalan konsep ini akan membawa sumberdaya hutan kita menuju jurang kehancuran yang lebih dalam, sekaligus merupakan ancaman terhadap sistem pembangunan yang berkelanjutan

Mengelola Asset Nagari

MASYARAKAT ADAT DALAM MENGELOLA ASET NAGARI
Oleh : Jomi Suhendri. S

Istilah masyarakat adat mulai disosialisasikan di Indonesia pada 1993 oleh Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA), yang digerakkan oleh sejumlah tokoh adat, akademisi dan aktivis LSM. Mereka menyepakati penggunaan istilah masyarakat adat sebagai istilah umum karena sebutan untuk kelompok masyarakat lokal waktu itu sangat beragam. Pada saat itu, secara umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan. Sedangkan pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya menurut suku masing-masing.
Dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara I yang diselenggarakan pada Maret 1999, disepakati bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat. Di negara lain, terdapat sejumlah istilah yang merujuk pada masyarakat adat, diantaranya first peoples di kalangan antropolog dan pembela, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan orang asli di Malaysia. Sementara, PBB menyepakati istilah indigenous peoples sebagaimana tertuang dalam seluruh dokumen yang membahas salah satu rancangan deklarasi PBB, yaitu draft of the UN Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples.
Di era otonomi, Pemerintah Daerah (Pemda) di Sumatera Barat (Sumbar) memberikan kewenangan kepada nagari untuk mengelola dan memanfatkan asset yang mereka miliki. Hal itu, dituangkan dalam Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari yang saat ini sedang dalam proses revisi. Perda itu menjelaskan bahwa asset nagari atau harta kekayaan nagari adalah harta benda yang telah atau kemudian menjadi harta kekayaan nagari baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Dijelaskan juga, yang termasuk dalam kekayaan nagari adalah pasar nagari, tanah lapang atau tempat rekreasi nagari, balai atau mesjid, tanah, hutan, tambang, batang air, tebat, danau dan atau laut yang menjadi ulayat nagari, bangunan yang dibuat oleh penduduk perantau untuk kepentingan umum, harta benda dan kekayaan lainnya, yang semua itu masuk dalam asset nagari.Dalam pengelolaan asset nagari, masing-masing nagari di (Sumbar) memiliki sistem dan mekanisme sendiri.
Di nagari Sungai Kamunyang, Kabupaten Lima Puluh Kota, misalnya, asset nagari berupa kolam renang yang airnya berasal dari aliran air batang tabik dikelola secara bergantian oleh masyarakat atau kelompok pemuda di tingkat jorong. Pengelolaan dilakukan dengan menggunakan sistem lotting (diundi), kelompok yang menang lotting akan mendapatkan giliran pertama mengelola kolam renang dan diberikan kesempatan untuk mengelola kolam renang selama satu tahun. Mereka mengelola kolam berdasarkan kontrak yang dibuat oleh pemerintahan nagari.Pengelolaan kolam renang ini merata untuk semua kelompok yang ada di setiap jorong. Bagi kelompok yang mengelola kolam renang harus membayar semacam kontibusi kepada nagari. Sementara, dalam pengelolaan tanah ulayat di Nagari Sungai Kamuyang juga diatur oleh hukum adat setempat. Pemanfaatan tanah ulayat lebih diutamakan untuk kepentingan anak Nagari Sungai Kamuyang. Luas tanah ulayat nagari yang dapat diberikan untuk dimanfaatkan oleh anak nagari maksimal 0,25 Ha dan dapat dimanfaatkan oleh badan usaha dengan luas maksimal 10 Ha. Selain itu, tanah ulayat juga bisa digunakan sebagai lahan pertanian dan tempat tinggal bagi masyarakat setempat. Setiap pengelolaan tanah ulayat dikenakan biaya yang disebut dengan bunga tanah dan setiap orang berkewajiban untuk membayarnya. Besar bunga tanah ulayat ini diatur dalam Peraturan Nagari No. 01 Tahun 2003 tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat yang ditetapkan 5 April 2003.
Lain halnya di Kanagarian Simarasok, Kabupaten Agam. Asset nagari berupa sarang burung wallet pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat atau pemuda di nagari setempat. Untuk mengelola sarang burung wallet dibentuk kelompok atau pengurus dalam nagari yang bertugas mengatur bentuk dan sistem pengelolaan, termasuk pembagian hasil panen. Biasanya, panen dilakukan berkisar antara 2-3 bulan dengan hasil mencapai 1 ton setiap kali panen. Namun, sangat disayangkan, sejauh ini asset tersebut tidak dikelola secara baik sehingga hanya dinikmati oleh sekelompok orang saja. Bahkan, tak jarang hal itu justru menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Sistem pengelolaan asset di dua nagari di atas, merupakan contoh pengelolaan aset berdasarkan hukum adat setempat. Masing-masing nagari di Sumbar, tentu saja juga memiliki ketentuan dan hukum sendiri dalam mengelola kekayaan nagari mereka.
Sekarang, tinggal bagaimana ketentuan tersebut tidak saling bertentangan sehingga menimbulkan konflik di tengah masyarakat.Saya percaya, masyarakat adat mampu memanfaatkan dan mengelola asset nagari dengan sebaik-baiknya. Masing-masing nagari, seperti diketahui, memiliki kearifan lokal yang telah dijalankan secara turun temurun. Masing-masing generasi, bertanggungjawab menjaga asset itu agar pengelolaannya tidak jatuh pada pihak ketiga yang belum tentu dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya.
Berhubung revisi perda No. 9 tahun 2000 saat ini sedang dibahas, para pengambil kebijakan seharusnya mengarahkan revisi tersebut pada upaya memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Satu hal yang harus dipertimbangkan adalah mempertegas kewenangan yang diberikan kepada unsur-unsur yang ada di nagari dalam hal pengelolaan asset nagari. Artinya, melalui revisi itu diharapkan pemerintah daerah dapat lebih memperhatikan kepentingan hak-hak masyarakat adat. Bila hal itu tidak dilakukan, artinya keberadaan masyarakat adat dan kearifan lokal yang mereka miliki akan semakin terpinggirkan. Jangan sampai, upaya negara memperhatikan dan melindungi hak masyarakat adat hanya sekadar wacana.

Peradilan Adat Di Sumatera Barat

Peradilan Adat Tempat Penyelesaian Sengketa Alternatif
Oleh : Jomi Suhendri. S (Direktur Qbar)

Sistem peradilan sederhana, cepat dan murah dari dahulu hingga sekarang tidak pernah terwujud. Salah satu sebabnya adalah hambatan yang terdapat dalam hukum nasional yang merupakan warisan Kolonial Belanda. Agenda politik negara kolonial dalam hukum nasional telah mewarnai berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bahkan praktek pengadilan seolah mengikuti jalur pendekatan politik birokrasi nasional, yaitu membangun jaringan korporasi dengan elit lokal. Sehingga struktur birokrasi menjadi struktur pembagian keuntungan yang bermakna politik maupun ekonomi. Dan sebagian kasus yang diputuskan sering tidak menjawab rasa keadilan ditingkat masyarakat. Untuk diperlukan sebuah peradilan alternatif untuk menjawab persoalan yang dihadapi oleh peradilan negara, salah satunya adalah dengan melihat kembali peradilan adat.
Keberadaan peradilan adat di Indonesia sudah berlangsung untuk kurun waktu yang cukup lama. Menurur Prof Hilman Hadikusuma, jauh sebelum agama Islam masuk di Indonesia, negri yang serba ragam penduduknya ini sudah lama melaksanakan tata tertib peradilan menurut hukum adat (Hadikusuma, 1989;“orang Indonesia asli“ berhadap dengan apa yang dinamakan“gouvernement rechtsspraak“ (peradilan governemen) terutama didaerah-daerah yang dikuasai oleh belanda. Secara historis hukum adat dipandang sangat demokratis karena is lahir melalui proses dan seleksi yang panjang. Kemakmuran dan kepentingan serta kelangsungan hidup masyarakat adalah prioritas utama dalam hukum adat. Hukum adat memberikan keadilan dan rasa keamanan pada siapapun, selagi mentaati clan mematuhi ketentuan yang berlaku dalam masyarakat hukum adat.
Persoalannya, kenapa sekarang diantara masyarakat mulai meninggalkan hukum adat dan memilih kukum negara dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi?. Padahal kewenangan untuk menyelesaikan perkara, apakah itu pada tingkat peradilan adat atau peradilan negara, merupakan menjadi tanggung jawab pihak yang bersengketa. Pertanyaan ini semangkin penting, bahwa pada kenyataannya peradilan negara juga bukan merupakan jaminan bagi menyelesaikan substansi persoalan yang mereka hadapi. Problematika Peradilan AdatProblematika yang dihadapi oleh peradilan adat pada saat sekarang adalah pertama, di satu pihak masyarakat adat memaknai peradilan adat sebagai satu bagian yang terintegrasi utuhdengan sistem nilai dan sistem sosial yang mereka anut.
Pada bagian lain, negara hadir dengan sistem nilai dan sistem sosialnya sendiri yang seringkali mengatasi, mendominasi, bahkan merepresi keberadaan masyarakat adat beserta sistem-sistem kehidupan mereka. Ini yang dikenal sebagai peminggiran atau penghancuran sistemis terhadap komunitas-komunitas masyarakat adat. Kedua, sebagai bagian dari masyarakat global, masyarakat adatpun tidak lepas dari pengaruh interaksa dengan dunia luarnya. Implikasi dari interaksi ini adalah penyerapan atau pemaksaan berlakunya sistem-sistem yang datang dari luar. Dalam hubungannya dengan sistem peradilan negara, peradilan adat menghadapi tantanganupaya penyeragaman sistem hukum, termasuk sistem peradilan. Ketiga, jurang pengetahuan dan kepedulian yang dalam antar generasi tua dan generasi muda masyarakat adat tentang berbagai sistem sosial, budaya, politik, hukum dan peradilan adat, ekonomi dan kepercayaan yang menyertai keberadaan masyarakat adat. Keempat, sebagian dari masyarakatnya dan tidak lagi mempercayai keputusan dari peradilan adat yang sudah diputuskan melalui peradilan adat, dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap orang yang memutuskan perkara tersebut, sehingga sebagian dari masyarakatnya yang tetap membawa kasusnya diselesaikan ditingkatkan peradilan negara.
Dalam perspektif kembali kepemerintahan nagari ini dibuka peluang untuk merevitalisasi kembali peradilan adat di Sumatera Barat. Peluang ini juga pontesial sebagai salah satu upaya untuk mengurangi penumpukan pekari di pengadilan negara. Disamping itu, peradilan negara juga harus kreatif memberikan dan menciptakan peluang bagi masyarakat yang berperkara untuk menemukan upaya perdamaian. Revitalisasi peradilan adat di Sumatera Barat, setidak-tidaknya, telah perna dicontohkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Sumatra Barat melalui Surat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Barat No. W3. DA. HT.04.02-3633 tanggal 27 Mei 1985 tentang pemberlakuan hukum adat di Minangkabau mengenai sengketa tanah pusaka tinggi, yang dikuatkan dengan surat edaran LKAAM No. 07/LKAAM-SB-VI-1985 tanggal 10 Juni 1985 perihal penyelesaian sengketa perdata adat. Tetapi kebijakan itu belum efektif dapat meredam intensitas perkara di Sumatera Barat, karena berbagai faktor interen sumberdaya hakim pengadilan yang mau menghargai proses adat tersebut, maupun faktor dari masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu sudah saatnya mulai dari sekarang masyarakat hukum adat di Sumatera Barat untuk menghormati hukum adat mereka sendiri. Dan tidak semua kasus-kasus yang seharusnya bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah, harus diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Tulisan ini pernah diterbitkan di Harian Padang Ekspres tanggal 18 September 2005

Tanah Ulayat

Pentingkah Tanah Ulayat Diatur dengan Perda ?
Oleh : Jomi Suhendri. S (Direktur Qbar)

TANAH Ulayat adalah aset di Sumatera Barat yang tidak ternilai harganya, dan kewajiban semua orang untuk menjaga dan memeliharanya agar tidak hilang digilas oleh perkembangan zaman. Ada ungkapan dalam adat Minangkabau yang pesannya menyampaikan kepada para generasi, bahwa semua orang berkewajiban untuk menjaga dan mempertahankan tanah ulayat agar tidak habis. Bunyi pepatah tersebut adalah “Nan ketek dipagadang ,Nan hanyut dipintasi ,Nan hilang dicari ,Nan patah ditimpa ,Nan sumbiang dititik ,Nan buruak dipaelok “. Dalam pepatah ini terkandung makna yang sangat mendalam, betapa berharganya tanah ulyat bagi kehidupan masyarakat hukum adapt di Sumatera Barat. Tanah ulayat merupakan pengikat bagi masyarakat adat di Sumatera Barat agar hubungan antara sesama suku tetap terjaga dengan utuh.
Pada tahun 2001, Pemerintahan Daerah (pemda) Propinsi Sumatera Barat membuat Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat yang mengatur tentang pengelolaan tanah ulayat di Sumatera Barat. Dalam Ranperda ini salah satu pasalnya mengatur tentang pemanfaatan dan penggunaan tanah ulayat di Sumatera Barat. Seberapa pentingkah tanah ulayat diatur dengan perda, dan apakah satu-satunya cara untuk pengaturan dan pengelolaan tanah ulayat di Sumatera Barat diatur dengan perda, dan seberapa besarkah bentuk pengakuan terhadap hak-hak masyarakay hukum adat terakomodir dalam perda tersebut, ini perlu dijadikan bahan diskusi bersama agar kelestarian tanah ulayat di Sumatera Barat ini terjaga dengan baik. Sudah banyak para kalangan yang menulis dan membahas tentang tanah ulayat serta permasalahan-permasalahannya, dan hampir semua orang sependapat bahwa tanah ulayat di Sumatera Barat ini perlu untuk dijaga .
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurnia Warman dan Rahmadi (tahun 2003) tentang “Hak Ulayat Nagari Atas Tanah di Sumatera Barat”, menegaskan bahwa produk hukum/kebijakan yang berkaitan dengan bidang pertanahan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah di Sumatera Barat belum mencerminkan semangat reformasi agraria sebagaimana telah dirumuskan dalam UUPA. Kebijakan dan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (pemda) justru beriorientasi kepada pemasukan ke kas derah, sehingga banyak diantara paraturan/kebijakan yang dikeluarkanhanya mengatur tentang retribusi pemakaian tanah yamg justru semakin menambah beban bagi rakyat.
Pada tingkatan pemda, kebijakan yang diambil tampaknya masih lebih beriorientasi kepada kepentingan pemerintah dan investor, sedangkan pada tingkat nagari sudah terlihat kecendrungan atau adanya upaya untuk melindungi hak-hak komunitas atas tanah. Dari hasil penelitian ini terlihat jelas bahwa peran pemerintah daerah (pemda) cukup besar dalam mengatur dan mengelola tanah ulayat seharusnya pemerintah daerah dapat memberikan ruang bagi masyarakat hukum adat untuk bisa mengatur dan mengelola tanah ulayatnya sendiri. Dan sudah saatnya peraturan/kebijakan yang dibuat untuk dapat memikirkan kepentingan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya. Di Sumatera Barat masyarakat hukum adatnya sudah mempunyai sistem dan mekanisme tersendiri dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah ulayat. Paling tidak pengelolaan dan pemanfaatan tanah ulayat ini telah perna diterapkan di Nagari Sungai Kamuyang Kabupaten Limapuluh Kota.
Pengaturan tanah ulyat diatur dalam peraturan Nagari No. 1 Tahun 2003. tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat. Dalam peraturan nagari ini mengatur tentang pemanfaatan tanah ulayat nagari dan luas yang dapat diberikan, hak dan kewajiban sipemanfaat tanah ulayat nagari dan ketentuan sanksi yang diberikan bila sipemanfaat yang menyalahgunakan pemanfaatan tanah ulayat ini. Di Nagari Simarasok juga diatur, melalui pernak No. 1 Tahun 2002 tentang Teritorial dan Ulayat Nagari Simarasok, dalam peraturan nagari ini mengatur tentang pengelolaan terhadap hak ulayat nagari termasuk tanah ulayat. Dan banyak lagi nagari-nagari di Sumatera Barat yang sudah mempunyai aturan tersendiri dalam mengelola dan memanfaatkan tanah ulayat memurut ketentuan hukum adat. Jadi tidak perlu lagi pemanfaatan dan pengelolaan tanah ulayat diaturdengan perda, karena dalam ketentuan hukum adat di Minangkabau sudah ada system dan mekanisme tersendiri dalam pengaturan dan pengelolaan tanah ulayat di Sumatera Barat.
Bagaimanakah peran pemerintah daerah dalam hal ini. Seharusnya pemerintah daerah (pemda) sudah saatnya memikirkan sebuah peraturan/kebijakan yang dapat melindungi hak-hak dan kepentingan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Bisa saja peraturan yang harus dibuat oleh pemerintah Daerah (pemda) adalah bentuk pengakuan secara tegas terhadap hak-hak ulayat masyarakat hukum adat di Sumatera Barat, agar kepastian hukum dari kepemilikan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat terjaga dan terlindungi. Sementara untuk bentuk pengelolaan dan pemanfaatannya serahkan saja kepada masyarakatnya, karena mereka sudah punya aturan tersendiri dalam mengelola tanah ulayat. Dan kepada DPRD Sumbar yang ingin melanjutkan agar Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat ini dibahas lagi untuk dapat memikirkan secara matang sebelum Ranperda ini disahkan menjadi perda, dan jangan sampai kehadiran ranperda ini akan menimbulkan konflik dalam masyarakat hukum adat di Sumatera Barat.
Tulisan ini pernah diterbitkan di Harian Padang Ekspres tanggal 18 Oktober 2005