Rabu, 11 Juni 2008

Peradilan Adat Di Sumatera Barat

Peradilan Adat Tempat Penyelesaian Sengketa Alternatif
Oleh : Jomi Suhendri. S (Direktur Qbar)

Sistem peradilan sederhana, cepat dan murah dari dahulu hingga sekarang tidak pernah terwujud. Salah satu sebabnya adalah hambatan yang terdapat dalam hukum nasional yang merupakan warisan Kolonial Belanda. Agenda politik negara kolonial dalam hukum nasional telah mewarnai berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bahkan praktek pengadilan seolah mengikuti jalur pendekatan politik birokrasi nasional, yaitu membangun jaringan korporasi dengan elit lokal. Sehingga struktur birokrasi menjadi struktur pembagian keuntungan yang bermakna politik maupun ekonomi. Dan sebagian kasus yang diputuskan sering tidak menjawab rasa keadilan ditingkat masyarakat. Untuk diperlukan sebuah peradilan alternatif untuk menjawab persoalan yang dihadapi oleh peradilan negara, salah satunya adalah dengan melihat kembali peradilan adat.
Keberadaan peradilan adat di Indonesia sudah berlangsung untuk kurun waktu yang cukup lama. Menurur Prof Hilman Hadikusuma, jauh sebelum agama Islam masuk di Indonesia, negri yang serba ragam penduduknya ini sudah lama melaksanakan tata tertib peradilan menurut hukum adat (Hadikusuma, 1989;“orang Indonesia asli“ berhadap dengan apa yang dinamakan“gouvernement rechtsspraak“ (peradilan governemen) terutama didaerah-daerah yang dikuasai oleh belanda. Secara historis hukum adat dipandang sangat demokratis karena is lahir melalui proses dan seleksi yang panjang. Kemakmuran dan kepentingan serta kelangsungan hidup masyarakat adalah prioritas utama dalam hukum adat. Hukum adat memberikan keadilan dan rasa keamanan pada siapapun, selagi mentaati clan mematuhi ketentuan yang berlaku dalam masyarakat hukum adat.
Persoalannya, kenapa sekarang diantara masyarakat mulai meninggalkan hukum adat dan memilih kukum negara dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi?. Padahal kewenangan untuk menyelesaikan perkara, apakah itu pada tingkat peradilan adat atau peradilan negara, merupakan menjadi tanggung jawab pihak yang bersengketa. Pertanyaan ini semangkin penting, bahwa pada kenyataannya peradilan negara juga bukan merupakan jaminan bagi menyelesaikan substansi persoalan yang mereka hadapi. Problematika Peradilan AdatProblematika yang dihadapi oleh peradilan adat pada saat sekarang adalah pertama, di satu pihak masyarakat adat memaknai peradilan adat sebagai satu bagian yang terintegrasi utuhdengan sistem nilai dan sistem sosial yang mereka anut.
Pada bagian lain, negara hadir dengan sistem nilai dan sistem sosialnya sendiri yang seringkali mengatasi, mendominasi, bahkan merepresi keberadaan masyarakat adat beserta sistem-sistem kehidupan mereka. Ini yang dikenal sebagai peminggiran atau penghancuran sistemis terhadap komunitas-komunitas masyarakat adat. Kedua, sebagai bagian dari masyarakat global, masyarakat adatpun tidak lepas dari pengaruh interaksa dengan dunia luarnya. Implikasi dari interaksi ini adalah penyerapan atau pemaksaan berlakunya sistem-sistem yang datang dari luar. Dalam hubungannya dengan sistem peradilan negara, peradilan adat menghadapi tantanganupaya penyeragaman sistem hukum, termasuk sistem peradilan. Ketiga, jurang pengetahuan dan kepedulian yang dalam antar generasi tua dan generasi muda masyarakat adat tentang berbagai sistem sosial, budaya, politik, hukum dan peradilan adat, ekonomi dan kepercayaan yang menyertai keberadaan masyarakat adat. Keempat, sebagian dari masyarakatnya dan tidak lagi mempercayai keputusan dari peradilan adat yang sudah diputuskan melalui peradilan adat, dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap orang yang memutuskan perkara tersebut, sehingga sebagian dari masyarakatnya yang tetap membawa kasusnya diselesaikan ditingkatkan peradilan negara.
Dalam perspektif kembali kepemerintahan nagari ini dibuka peluang untuk merevitalisasi kembali peradilan adat di Sumatera Barat. Peluang ini juga pontesial sebagai salah satu upaya untuk mengurangi penumpukan pekari di pengadilan negara. Disamping itu, peradilan negara juga harus kreatif memberikan dan menciptakan peluang bagi masyarakat yang berperkara untuk menemukan upaya perdamaian. Revitalisasi peradilan adat di Sumatera Barat, setidak-tidaknya, telah perna dicontohkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Sumatra Barat melalui Surat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Barat No. W3. DA. HT.04.02-3633 tanggal 27 Mei 1985 tentang pemberlakuan hukum adat di Minangkabau mengenai sengketa tanah pusaka tinggi, yang dikuatkan dengan surat edaran LKAAM No. 07/LKAAM-SB-VI-1985 tanggal 10 Juni 1985 perihal penyelesaian sengketa perdata adat. Tetapi kebijakan itu belum efektif dapat meredam intensitas perkara di Sumatera Barat, karena berbagai faktor interen sumberdaya hakim pengadilan yang mau menghargai proses adat tersebut, maupun faktor dari masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu sudah saatnya mulai dari sekarang masyarakat hukum adat di Sumatera Barat untuk menghormati hukum adat mereka sendiri. Dan tidak semua kasus-kasus yang seharusnya bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah, harus diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Tulisan ini pernah diterbitkan di Harian Padang Ekspres tanggal 18 September 2005

Tidak ada komentar: