Rabu, 11 Juni 2008

Mengelola Asset Nagari

MASYARAKAT ADAT DALAM MENGELOLA ASET NAGARI
Oleh : Jomi Suhendri. S

Istilah masyarakat adat mulai disosialisasikan di Indonesia pada 1993 oleh Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA), yang digerakkan oleh sejumlah tokoh adat, akademisi dan aktivis LSM. Mereka menyepakati penggunaan istilah masyarakat adat sebagai istilah umum karena sebutan untuk kelompok masyarakat lokal waktu itu sangat beragam. Pada saat itu, secara umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan. Sedangkan pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya menurut suku masing-masing.
Dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara I yang diselenggarakan pada Maret 1999, disepakati bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat. Di negara lain, terdapat sejumlah istilah yang merujuk pada masyarakat adat, diantaranya first peoples di kalangan antropolog dan pembela, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan orang asli di Malaysia. Sementara, PBB menyepakati istilah indigenous peoples sebagaimana tertuang dalam seluruh dokumen yang membahas salah satu rancangan deklarasi PBB, yaitu draft of the UN Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples.
Di era otonomi, Pemerintah Daerah (Pemda) di Sumatera Barat (Sumbar) memberikan kewenangan kepada nagari untuk mengelola dan memanfatkan asset yang mereka miliki. Hal itu, dituangkan dalam Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari yang saat ini sedang dalam proses revisi. Perda itu menjelaskan bahwa asset nagari atau harta kekayaan nagari adalah harta benda yang telah atau kemudian menjadi harta kekayaan nagari baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Dijelaskan juga, yang termasuk dalam kekayaan nagari adalah pasar nagari, tanah lapang atau tempat rekreasi nagari, balai atau mesjid, tanah, hutan, tambang, batang air, tebat, danau dan atau laut yang menjadi ulayat nagari, bangunan yang dibuat oleh penduduk perantau untuk kepentingan umum, harta benda dan kekayaan lainnya, yang semua itu masuk dalam asset nagari.Dalam pengelolaan asset nagari, masing-masing nagari di (Sumbar) memiliki sistem dan mekanisme sendiri.
Di nagari Sungai Kamunyang, Kabupaten Lima Puluh Kota, misalnya, asset nagari berupa kolam renang yang airnya berasal dari aliran air batang tabik dikelola secara bergantian oleh masyarakat atau kelompok pemuda di tingkat jorong. Pengelolaan dilakukan dengan menggunakan sistem lotting (diundi), kelompok yang menang lotting akan mendapatkan giliran pertama mengelola kolam renang dan diberikan kesempatan untuk mengelola kolam renang selama satu tahun. Mereka mengelola kolam berdasarkan kontrak yang dibuat oleh pemerintahan nagari.Pengelolaan kolam renang ini merata untuk semua kelompok yang ada di setiap jorong. Bagi kelompok yang mengelola kolam renang harus membayar semacam kontibusi kepada nagari. Sementara, dalam pengelolaan tanah ulayat di Nagari Sungai Kamuyang juga diatur oleh hukum adat setempat. Pemanfaatan tanah ulayat lebih diutamakan untuk kepentingan anak Nagari Sungai Kamuyang. Luas tanah ulayat nagari yang dapat diberikan untuk dimanfaatkan oleh anak nagari maksimal 0,25 Ha dan dapat dimanfaatkan oleh badan usaha dengan luas maksimal 10 Ha. Selain itu, tanah ulayat juga bisa digunakan sebagai lahan pertanian dan tempat tinggal bagi masyarakat setempat. Setiap pengelolaan tanah ulayat dikenakan biaya yang disebut dengan bunga tanah dan setiap orang berkewajiban untuk membayarnya. Besar bunga tanah ulayat ini diatur dalam Peraturan Nagari No. 01 Tahun 2003 tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat yang ditetapkan 5 April 2003.
Lain halnya di Kanagarian Simarasok, Kabupaten Agam. Asset nagari berupa sarang burung wallet pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat atau pemuda di nagari setempat. Untuk mengelola sarang burung wallet dibentuk kelompok atau pengurus dalam nagari yang bertugas mengatur bentuk dan sistem pengelolaan, termasuk pembagian hasil panen. Biasanya, panen dilakukan berkisar antara 2-3 bulan dengan hasil mencapai 1 ton setiap kali panen. Namun, sangat disayangkan, sejauh ini asset tersebut tidak dikelola secara baik sehingga hanya dinikmati oleh sekelompok orang saja. Bahkan, tak jarang hal itu justru menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Sistem pengelolaan asset di dua nagari di atas, merupakan contoh pengelolaan aset berdasarkan hukum adat setempat. Masing-masing nagari di Sumbar, tentu saja juga memiliki ketentuan dan hukum sendiri dalam mengelola kekayaan nagari mereka.
Sekarang, tinggal bagaimana ketentuan tersebut tidak saling bertentangan sehingga menimbulkan konflik di tengah masyarakat.Saya percaya, masyarakat adat mampu memanfaatkan dan mengelola asset nagari dengan sebaik-baiknya. Masing-masing nagari, seperti diketahui, memiliki kearifan lokal yang telah dijalankan secara turun temurun. Masing-masing generasi, bertanggungjawab menjaga asset itu agar pengelolaannya tidak jatuh pada pihak ketiga yang belum tentu dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya.
Berhubung revisi perda No. 9 tahun 2000 saat ini sedang dibahas, para pengambil kebijakan seharusnya mengarahkan revisi tersebut pada upaya memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Satu hal yang harus dipertimbangkan adalah mempertegas kewenangan yang diberikan kepada unsur-unsur yang ada di nagari dalam hal pengelolaan asset nagari. Artinya, melalui revisi itu diharapkan pemerintah daerah dapat lebih memperhatikan kepentingan hak-hak masyarakat adat. Bila hal itu tidak dilakukan, artinya keberadaan masyarakat adat dan kearifan lokal yang mereka miliki akan semakin terpinggirkan. Jangan sampai, upaya negara memperhatikan dan melindungi hak masyarakat adat hanya sekadar wacana.

Tidak ada komentar: