Selasa, 12 Agustus 2008

Pandangan Terhadap Perda Tanah Ulayat Dan Pemanfaatannya


Pandangan dari beberapa pihak terhadap Perda tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya :

Erizal Effendi (Tim Pansus DPRD Sumatera Barat)
Dengan kehadiran Perda tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya ini akan bisa memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat secara hukum
Perda ini secara substansi sudah baik dibandingkan dengan Draft yang dibuat pada tahun 2001
Perda ini nantinya akan memberikan manfaat terhadap hak ulayat di Sumatera Barat.

Kurnia Warman (Akademisi):
Perda tentang Tanah ulayat dan pemanfaatan ini bukanlah kewenangan dari provinsi untuk membuatnya, akan tetapi merupakan kewenangan dari pemrintahan Kabupaten/kota sesuai dengan UU No. 38 Tahun 2007
Perda ini nantinya belum mampu menjawab persoalan tanah ulayat di Sumatera Barat
Dalam substansi yang mengatur tentang pendaftaran tanah akan menimbulkan konflik di tingkat masyarakat dan pendafaran tanah ulayat ini nantinya akan bertentangan dengan PP No. 24 Tahun 1997
Diharapkan di tingkat Kabupaten bisa membuat perda yang lebih baik dalam mengontrol hak ulayat yang ada di Sumatera Barat

BPN Sumatera Barat
Perda ini merupakan sebuah langkah maju untuk melindungi tanah ulayat di Sumatera Barat.
BPN akan mendukung terhadap pelaksanaan dari perda ini dilapangan nantinya

Suhermanto Raza (Biro Pemerintahan Nagari Sumbar)
Perda tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya ini seharusnya bisa menjamin kepastian hukum dari hak-hak masyarakat adat di Sumatera Barat
Perda ini tidak akan menjawab persoalan tanah ulayat di Sumatera Barat

Rifai (PALAM Sumbar)
Perda ini hanya mengatur masalah tanah saja sedangkan banyak hak ulaya lain yang perlu juga di atur
Terhadap berakhirnya hak-hak ulayat, bagaimana mekanisme klaim itu diatur oleh perda, seperti berakhirnya HGU itu sendiri
Perda ini lebih menitik beratkan untuk kepentingan investor dan bukan untuk kepentingan masyarakat di Sumatera Barat
Perda ini belum memberikan harapan yang baik bagi masyarakat di Sumatera Barat
PALAM akan mengirimkan surat ke Mendagri untuk membatalkan Perda ini.

Padangan ini hasil rangkuman diskusi reguler yang dilaksanakan dikantor Qbar pada tanggal 16 Juli 2008.

Kamis, 31 Juli 2008

Laporan Penelitian Tentang Pembaharuan Hukum


Laporan Penelitian
Riau dan Sumatera Barat
I. Pendahuluan
I.1. Konteks Daerah
I.1.a. Provinsi Sumatera Barat
Walaupun tidak memperoleh status otonomi khusus, seperti Aceh dan Papua, Pemerintah Daerah Sumatera Barat cukup reaktif dalam mensikapi peluang-peluang untuk melahirkan kebijakan yang diberikan oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satunya adalah, kebijakan untuk menentukan sendiri bentuk pemerintahan terendah di bawah kecamatan. Melalui Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari, Provinsi Sumbar "telah kembali" ke sistem pemerintahan nagari dan menghapuskan sistem pemerintahan desa sebagai produk Orde Baru. Dan pada saat ini pemerintahan Propinsi Sumatera Barat sedang melakukan perubahan/revisi terhadap Perda No. 9 Tahun 2000.
Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum adat dalam daerah Provinsi Sumatera Barat, yang terdiri atas beberapa suku yang mempunyai wilayah tertentu batas-atasnya, mempunyai harta kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya dan memilih pimpinan pemerintahannya. Suatu nagari mempunyai latar belakang budaya dan sejarah asal usul tersendiri yang keberadaannya tersebar di seluruh wilayah Provinsi Sumbar. Di samping itu, nagari juga mempunyai kekayaan atau aset baik yang berupa sumberdaya alam maupun berupa sumberdaya buatan. Jadi kalau ditelusuri lebih jauh, sebetulnya seluruh sumberdaya alam yang tersebar di Sumbar merupakan sumberdaya alam yang terdapat dalam wilayah masyarakat hukum adat (nagari). Menurut hukum adat Minangkabau, kewenangan nagari dalam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam itulah yang dikenal dengan "hak ulayat". Oleh karena itu, peraturan/kebijakan kembali ke sistem pemerintahan nagari tidak hanya berpengaruh terhadap mekanisme jalannya roda pemerintahan di tingkat masyarakat, tetapi juga akan berdampak terhadap implementasi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tentang pengelolaan sumberdaya alam. Dalam hal pembaruan hukum didaerah pemerintahan nagari mempunyai peluang untuk bisa membuat kebijakan/peraturannya sendiri yang lebih bisa menjamin hak-hak masyarakatnya.

I.1.b. Provinsi Riau
Propinsi Riau merupakan propinsi yang mempunyai potensi sumber daya alam yang sangat kaya , baik di darat, sungai, maupun laut. Namun kekayaan tersebut saat ini sudah sangat menurun, baik jumlah depositnya maupun kualitasnya karena adanya kegiatan eksploitasi dan eksplorasi yang sangat tinggi intensitasnya.
Adanya perubahan yang terjadi di Indonesia baik social, ekonomi, maupun politik dengan dimulainya sistim desentralisasi, telah pula membawa perubahan arah kebijakan pembangunan daerah di propinsi Riau. Saat ini Propinsi Riau telah menetapkan Visi pembangunan jangka panjang yang disebut "Visi Riau 2020" dimana ambisi jangka panjang yang ingin dicapai adalah " Terwujudnya Propinsi Riau sebagai Pusat Perekonomian
1
dan Kebudayaan Melayu dalam Lingkungan Masyarakat yang Agamis, Sejahtera Lahir dan Bathin, di Asia Tenggara Tahun 2020". Hal ini pulalah yang kemudian mendorong pemerintah Kabupaten/kota seperti berlomba mengeluarkan berbagai kebijakan pembangunan yang hanya terfokus untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada dimasing-masing wilayahnya secara membabi buta. Dengan didukung oleh kebijakan yang akomodatif dan responsive terhadap kepentingan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam itu ternyata telah membawa dampak degradasi yang cukup tinggi dari segi kualitas maupun kuantitas, serta dampak social yang selalu mengiringi setiap upaya yang tidak bertanggung jawab itu dilaksanakan. Lingkungan fisik, social, budaya, dan ekonomi sangat terbebani oleh dampak eksploitasi yang terus dipacu 0tersebut.
Maraknya pembangunan disektor hulu, seperti industri kehutanan dan perkebunan baik itu perkebunan Hutan Tanaman Industri maupun perkebunan kelapa sawit di propinsi Riau telah pula menyemarakkan munculnya permasalahan social. Angka kemiskinan yang mencapai 42 % sebagian besar adalah masyarakat yang berada diwilayah sekitar areal industri dan lahan perkebunan maupun masyarakat sekitar hutan . Masyarakat yang dahulunya petani sejahtera saat ini banyak yang kemudian menjadi buruh tani. Konflik lahan hampir terjadi disetiap wilayah yang dimasuki oleh industri-industri tersebut. .Meningkatnya konflik sosial beberapa tahun belakangan ini di Riau membuktikan begitu rapuhnya kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang di bangun di propinsi ini.

I.2. Proses Penelitian
Penelitian ini dilakukan oleh Tiga orang peneliti dan satu orang koordinator peneliti, yang memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Hampir dari semua tim peneliti mempunyai latar belakang sebagai aktifis di NGO. Prosesnya diawali dengan diskusi membahas rencana penelitian yang akan berlangsung selama 2 (dua) bulan. Pada tahapan ini disepakati narasumber atau responden untuk diwawancarai, lokasi atau daerah bekerjanya responde sebagai tempat penelitian dilakukan serta perkiraan kebutuhan waktu. Diskusi ini memutuskan jumlah keseluruhan narasumber atau responden yaitu Sumbar (6 orang), Jambi (7 orang) dan Riau (7 orang).
Tahapan berikutnya adalah pengumpulan data sekunder yang berkaitan dengan objek penelitian. Pengumpulan data sekunder ini dilakukan di kantor-kantor pemda yang menjadi wilayah kerja responden dan kantor responden. Dokumen yang dikumpulkan berupa peraturan/kebijakan yang dikeluarkan oleh pemda yang bersangkutan mulai dari tahun 2000 – 2004 dan laporan-laporan, rilis, rencana kerja dan dokumen lain yang dikeluarkan oleh lembaga/organisasi responden.
Tahapan selanjutnya adalah wawancara mendalam (in depth interveiw) dengan narasumber yang mempunyai latar belakang disiplin keilmuan dan pengalaman yang berbeda-beda. Setelah wawancara selesai dilakukan, maka hasil dari wawancara tersebut akan diolah sehingga menjadi sebuah informasi. Secara keseluruhan kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan (terhitung mulai bulan September 2005).
2

I.3. Temuan Umum
I.3.a. Provinsi Sumatera Barat
Dari hasil wawancara yang mendalam (in depth interveiw) yang dilakukan dengan para narasumber dan pengumpulan dokumen, ada beberapa temuan umum yang didapatkan berkaitan dengan agenda pembaruan hukum, diantaranya adalah :
1. Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari
Yang menjadi masalah utamanya dalam perda No. 9 Tahun 2000 ini adalah masih adanya indikasi peminggiran lembaga adat yang telah ada sejak dulunya secara geneologis dan teritorial dalam pengaturan dan pengurusan nagari secara menyeluruh. Padahal semestinya dalam konteks kembali ke nagari lembaga inilah yang mesti diberdayakan, difasilitasi agar bisa kembali memegang peranan krusial dalam pemerintahan nagari termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada dinagari. Dan pemerintahan kabupaten yang masih memegang peranan dalam mengelola aseet nagari seharusnya pemda sudah harus memberikan kewenangan penuh kepada pemerintahan nagari untuk mengatur dan mengelola nagarinya sendiri sebagai wujud dalam upaya mendorong otonomi nagari.
2. Perda Kabupaten Solok No. 5 Tahun 2004 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat.
Kehadiran perda ini di Kabupaten Solok diharapkan kedepan dalam penyelengaraan pemerintahan dan proses-proses penyusunan kebijakan daerah akan berlangsung secara transparan, akuntabel dan keterlibatan masyarakat. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Yayasan Taratak bahwa setiap peraturan yang dibuat secara tidak partisipatif bersama masyarakat akan mendapat penolakan terhadap peraturan tersebut.
3. Issu tentang perempuan
Adanya kebijakan-kebijakan yang dinilai diskrimiantif terhadap perempuan seperti perda propinsi Sumatera Barat tentang Penyakit Masyarakat dan surat edaran yang berisi himbauan Walikota Padang bagi perempuan untuk memakai jilbab banyak menimbulkan pro dan kontra. Salah satu lembaga yang menentang kebijakan tersebut adalah KPI wilayah Sumatera Barat. Alasan dari penolakan tersebut adalah selain keluarnya kebijakan tersebut memberi legalitas formal atas pengekangann hak-hak perempuan juga melanjutkan perlakuan dan pandangan yang stereotip dan diskriminatif terhadap kaum perempuan.
4. Ranperda Tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat
Pada tahun 2001 Pemda Sumatera Barat membuat peraturan tentang pemanfaatan tanah ulayat. Kehadiran Ranperda ini menimbulkan reaksi dari kalangan NGO, Ormas dan tokoh masyarakat yang menolak kehadiran ranperda tersebut, Karena dalam Ranperda ini adanya pengalihan pengolahan hak masyarakat adat (tanah) kepada pihak ketiga (investor) yang. Ada beberapa kritikan terhadap Ranperda ini diantaranya adalah Pertama, secara filosofis, tidak tergambar dalam konsideran menimbang Ranperda tentang pentingnya dilahirkan perda dalam memberikan jaminan hak dan jaminan kepastian hukum serta kesejahteraan bagi masyarakat. Kedua, secara sosiologis, juga tidak terlihat dalam ranperda bahwa secara empiris masyarakat adat di Sumbar sangat membutuhkan adanya peraturan yang dapat melindungi hak mereka yang sudah terancam oleh pihak luar termasuk pemerintah. Ketiga, secara formil, Pemda provinsi tidak berwenang mengatur bidang pertanahan.
3
Karena menurut Pasal 11 UU 22/1999, bidang pertanahan merupakan salah satu kewenangan wajib bagi pemda kabupaten/kota. Dengan demikian, Kalau pemda provinsi memaksakan diri untuk mengatur bidang pertanahan, maka dapat dikatakan bahwa perda tersebut inkonstitusional.
I.3.b. Provinsi Riau
Pasca disahkannya UU Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan besar bagi pemerintah daerah khususnya Kabupaten/kota ternyata telah pula membawa perubahan paradigma pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan pengelolaan sumberdaya alamnya. Satu sisi memang kewenangan ini memberikan peluang bagi daerah untuk mengelola sumberdaya alam secara lebih efektif, efesien. Namun disisi lain, ternyata pengelolaan ini tidak dilakukan secara bijaksana dan semata-mata hanya mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka yang terjadi adalah kehancuran dari sumberdaya alam tersebut dan banyak menimbulkan konflik social dimasyarakat.
Hal inilah yang saat ini terjadi di Propinsi Riau, Hampir disemua kabupaten/kota seperti berlomba mempromosikan potensi SDA yang terdapat dimasing-masing wilayah. Banyak kebijakan yang dibuat guna menarik minat para pengusaha untuk menanamkan modalnya, dan bila dilihat kebijakan tersebut lebih banyak mengatur kemudahan-kemudahan bagi para pengusaha dalam berinvestasi dimana dalam prosesnya sama sekali meniadakan partisipasi masyarakat dan yang dijadikan dasar dari kebijakan tersebut semata-mata hanyalah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Sebagaimana obsesi propinsi Riau yang tertuang dalam Visi Riau 2020 yang ingin menjadikan "Riau sebagai pusat perekonomian di asia tenggara" maka untuk mencapai visi tersebut saat ini Pemerintah Propinsi, Kabupaten/kota menggalakkan pembangunan disegala sektor yang terfokus pada eksploitasi sumber daya alam.
Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam yang cendrung eksploitatif yang disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan Industri dan tingginya permintaan pasar merupakan efek pemicu dari konflik-konflik sumber Daya Alam yang ada di Riau. Disektor kehutanan keberadaan 2 unit Indutri besar Pulp and Paper PT. Riau Andalan PulpPaper (RAPP) dan PT.Indah Kiat Pulp Paper (IKPP) dengan Kebutuhan Bahan Baku Kayu yang masih tergantung dari Hutan Alam dengan jumlah yang cukup tinggi karena bahan baku dari Hutan Tanaman Industri (HTI) sama sekali belum mencukupi telah memicu tingkat deforestasi yang cukup tinggi, serta Tingginya Minat Investasi di sector Perkebunan Besar Kelapa sawit merupakan persoalan tersendiri yang memiliki keterkaitan erat dengan konflik-konflik keruangan. Dampak nyata yang terjadi adalah kerusakan lingkungan yang cukup hebat dengan adanya kasus pencemaran sungai, musim banjir dan asap yang hampir setiap tahun selalu muncul serta konflik tanah antara masyarakat dengan perusahaan yang cenderung meningkat setiap tahunnya.
Saat ini di Riau sedang disibukkan oleh melimpahnya dana dari berkah desentralisasi fiscal yang diberlakukan di Indonesia sejalan dengan semangat otonomi daerah. Tiap tahunnya rata-rata tambahan pendapatan yang diperoleh untuk propinsi, kabupaten/kota mencapai besaran US$ 300-350 juta. Namun belum terlihat konsesus politik di propinsi ini mengenai pengaturan alokasi keuangan tersebut. DPRD sebagai pemegang otoritas yang tertinggi dalam menentukan sah tidaknya APBD sering dituding tidak lepas dari berbagai kepentingan, baik politik maupun pribadi dalam penyusunannya. Eksekutif sebagai pelaksanan dari APBD yang disahkan oleh legislative oleh berbagai pengamat malah
4
dilihat sering memanfaatkan situasi tersebut untuk kepentingan mereka pula. Maka di Riau saat ini, baik ditingkat Propinsi maupun kabupaten/kota semakin akrab dengan istilah legal corruption.
Kepentingan politik maupun pribadi sering menjadi dasar sehingga sering terjadinya tindak Kolusi dan Korupsi. Melalui "kesepakatan" antara eksekutif dan legislative APBD disahkan dengan berpedoman kepada mengakomodir berbagai kepentingan keduanya. Berbagai kegiatan seperti itu pada tahun 2004 lalu di Propinsi Riau makin terkuak. Berdasarkan pantauan DPRD sendiri malah ada beberapa proyek yang sudah dikucurkan dananya namun tidak sebatang besipun ada terpancang dilokasinya. Padahal proyek tersebut dianggap proyek strategis. Saat ini ada 31 kasus korupsi di Riau yang belum tuntas dan menjadi perhatian khusus kejaksaan agung.

II. Temuan-Temuan Penelitian
II.1. Sumatera Barat
II.1.a. Trend di Kalangan Negara
Provinsi Sumatera Barat dalam melaksanakan otonomi daerah telah melakukan penataan kewenangan dan kelembagaan secara sistematis dan bertahap dengan mempertimbangkan aspek baik pemerintahan, pembangunan maupun kemasyarakatan. Timbulnya aspirasi masyarakat yang kuat untuk kembali kepada sistem pemerintahan nagari, didukung dengan adanya peluang dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang sekarang sudah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004.
Untuk itu, pemerintah daerah Sumatera Barat telah menindak lanjuti kebijakan kembali ke pemerintahan nagari ini ditengah-tengah masyarakat sebagaimana yang dituangkan dalam Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari Di Sumatera Barat. Adanya perda ini memberikan peluang kepada pemerintah daerah dan masyarakatnya lebih mandiri dalam mengelola daerahnya termasuk asset-asetnya.
Dilihat dari makna yang terkandung dalam Visi provinsi Sumatera Barat tahun 2001-2005, lebih menekankan kepada pemberian kewenangan yang penuh kepada kabupaten/kota untuk merencanakan dan mengendalikan penyelenggaraan pemerintah secara makro regional serta kewenangan dalam bentuk penentuan norma, standar pelayanan, pembinaan yang pada hakekatnya adalah dukungan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya.
Dari sektor ekonominya pemerintah Sumatera Barat melakukan pemberdayaan kekuatan ekonomi dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang beriorientasi pasar dengan memfasilitasi penyediaan sarana dan prasarana dalam pengembangan ekonomi, mengembangkan dan meningkatkan penguasaan teknologi dan manajemen dalam pengelolaan usaha ekonomi.
Dalam hal pemanfaatan potensi SDA Sumbar, Pemerintah daerah dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan dilakukan dengan adanya rencana tata ruang daerah yang berfungsi sebagai pedoman peruntukan pemanfaatan lahan, tersedianya lembaga yang memantau dan mengendalikan pengelolaan lingkungan, sehingga SDA Sumbar tidak dieksploitasi secara liar dan dapat lestari.
5
Untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, Pemda Sumbar mendorong dan memberdayakan masyarakat, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, menumbuhkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menuntut adanya aparatur pemerintah yang bersih dan menempatkan diri sebagai orang yang harus melayani kepentingan masyarakat. Untuk mewujudkan pelaksanaan kewenangan dimaksud, maka pemerintah daerah diharapkan menyusun struktur daerah menerapkan prinsip transparansi dalam pelayanan, akuntabel dalam pelaksanaan pekerjaan, jujur dan responsif atas tuntutan masyarakat. Hal ini tentu perlu didukung oleh aparatur pemerintah yang profesional dan bersih, sehingga dapat mewujudkan kinerja pemerintahan dan kelembagaan daerah yang baik sesuai harapan masyarakat.

2.1.b. Trend di Kalangan Masyarakat Sipil
Otonomi daerah seharusnya bisa meningkatkan peran masyarakat dalam memberikan masukan-masukan terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan para narasumber, terlihat bahwa proses dan mekanisme dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah masih saja tertutup, ini dilihat dari tidak adanya proses transparan dan partisipasi bersama masyarakat ketika merumuskan peraturan/kebijakan tersebut. Berbeda dengan apa yang telah dirumuskan dalam misi Pemda Sumatera Barat yang mendorong prinsip transparansi dalam pelayanan, akuntabel dalam pelaksanaan pekerjaan, jujur dan responsif atas tuntutan masyarakat.
Adanya kesenjangan resources, kesenjangan terhadap penguasaan terhadap sumber daya ekonomi/asset masyarakat, dan ketersediaan lapangan pekerjaan masih menjadi persoalan ditingkat masyarakat. Dan adanya kepentingan dari pemerintah dan investor untuk menguasai dan mengelola aset-aset masyarakat tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Dan banyak pembangunan yang dilakukan menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pemda.
Dikalangan masyarakat sipil/LSM di Sumatera Barat dalam menjalankan strategi untuk menyikapi persoalan-persoalan di atas dari hasil wawancara dan bila dilihat dari visi dan misi lembaganya adalah dengan melakukan analisis hukum dan legal opinion serta kajian hukum yang ini dirasakan cukup memberikan pengaruh dan menjadi daya pressure kepada lembaga legislatif. Melakukan proses-proses pendidikan kritis dimasyarakat seperti pendidikan politik rakyat, pendidikan hukum kritis, dan pendidikan HAM. Selain itu pengorganisasian juga harus tetap dilakukan, ini merupakan bagian dari penguatan dalam masyarakat. Ditingkat legislatifnya yang dilakukan adalah memfasilitasi proses penumbuhan dan peningkatan kapasitas pemerintah dalam pembuatan hukum dan kebijakan yang responsif dalam memenuhi keadilan dan kesejahteraan.

II.2. Provinsi Riau
II.2.a. Trend diKalangan Negara
Lahirnya berbagai kebijakan yang sangat memberikan peluang konflik tersebut sebenarnya dilatarbelakangi ideologi pembangunan yang berjiwa kapitalis. Alasan tersebut berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang pernah dipraktekkan pada rezim orde baru yang terus diwarisi sampai saat ini. Hal ini dapat dilihat dari Visi Riau 2020 "yang ingin menjadikan Riau sebagai pusat ekonomi di asia
6
tenggara" kemudian dapat dilihat juga pada konsideran yang tercantum dihampir semua Perda yang dibuat, semua tercantum untuk percepatan pembangunan infrastruktur agar program pemerintah dapat mencapai target yaitu peningkatan Pendapatan Asli Daerah.
Alasan kedua, karena lebih mengutamakan kepentingan pengusaha/pemilik modal sebagai upaya mendukung tercapainya peningkatan ekonomi daerah. Ini dapat dilihat dari subtansi kebijakan yang dibuat lebih didominasi kepentingan pengusaha/pemodal sedikit sekali yang mengatur tentang kewajiban pengusaha/pemodal terhadap masyarakat sekitar, bahkan kebijakan tersebut banyak yang kemudian melanggar hak-hak masyarakat local yang berujung kepada terjadinya konflik.
Ketidak singkronan antara berbagai kebijakan yang mengatur tentang pembangunan diberbagai sector juga memperparah konflik social yang terjadi. Masing-masing sector merasa paling berkompeten mengatur tentang sumberdaya alamnya, walaupun disadari bahwa segenap unsur sumber daya alam merupakan satu kesatuan ekosistem. Sebagai akibatnya, terjadilah tumpang tindih antara penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan koordinasi yang timpang antara wilayah dan antar sector. Pengadilan, sebagai benteng terakhir keadilan belum dapat berfungsi secara bebas dan mandiri. Bagi mereka yang mencari keadilan dalam upaya memperoleh akses dan memanfaatkan sumber daya alam, mekanisme penyelesaian konflik diluar pengadilan belum dibudayakan.
II.2.b. Trend di Kalangan Masyarakat Sipil.
Era otonomi daerah yang saat ini sedang berlangsung, bagi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Riau yang selama ini konsen terhadap isue-isue masyrakat sipil, melihatnya sebagai sebuah "berkah yang membawa bencana".
Masyarakat adat dan masyarakat local merupakan kelompok yang paling terpinggirkan dalam upaya pemanfaatan sumber daya alam karena keberadaannya tidak dihormati dan dilindungi. Kearifan tradisional untuk mempertahankan, mengembangkan dan melestarikan sumberdaya alam dikalahkan oleh tekhnologi modern yang digunakan secara kurang bertanggungjawab. Bersamaan dengan hal itu, pranata yang hidup dilingkungan masyarakat adapt/local tidak berdaya berhadapan dengan peraturan hokum formal.
Masyarakat yang seharusnya ditempatkan sebagai actor utama dalam pengelolaan sumber daya alam, malah sebaliknya hanya menjadi korban dari setiap kebijakan pembangunan yang dibuat secara tertutup dan tidak partisipatif.
Hasil pengamatan terhadap proses partisipasi masyarakat menunjukan bahwa level partisipasi seringkali terbatas pada kehadiran, bukan peran aktif. Pengetahuan dan wawasan masyarakat untuk memahmai korelasi antara situasi yang mereka hadapi sehari-hari dengan realitas social yang lebih luas sangat terbatas. Apalagi sebagian masyarakat saat ini tidak terorganisir, sehingga mempersulit proses partisipasi yang betul-betul representative. Banyak kejadian menunjukan bahwa partisipan yang relevan justru tidak tertarik untuk terlibat mengingat waktu dan sumberdaya lain yang harus mereka korbankan untuk itu. Sebaliknya, mereka yang aktif melibatkan diri justru bukan representasi dari populasi masyarakat yang lebih luas. Kebanyakan mereka datang mewakili kelompok interes tertentu. Hal ini dapat ditemui pada berbagai program pembangunan yang dibuat misalnya disektor pertanian dan perkebunan, dimana
7
kelompok yang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan biasanya justru datang dari kelompok elit yang terpelajar bahkan konsultan dari luar daerah, bukan dari kelompok petani setempat itu sendiri. Hal inilah yang kemudian menimbulkan berbagai konflik seperti hilangnya hak atas tanah para petani yang diserobot oleh para pengusaha, lingkungan yang rusak dan tercemar dan tidak sedikit dari konflik tersebut kemudian menimbulkan korban jiwa.
Melihat kondisi seperti itulah yang kemudian mendorong beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Riau mengambil peran sebagai fasilitator dalam mendorong serta mewujudkan kedaulatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam . Beberapa hal yang dapat serta sedang difasilitasi oleh LSM, antara lain :
1. Memfasilitasi proses advokasi agar supremasi hukum dapat kembali ditegakkan,ketika terjadi proses dimana hukum tidak lagi memihak dan mengayomi masyarakat.
2. Memfasilitasi proses promosi agar kearifan masyarakat local kembali dikenal dan dijadikan acuan serta diakui ketika sebuah system yang arif dalam pengelolaan suberdaya alam mulai tenggelam dan dihilangkan oleh arus modernisme.
3. Memfasilitasi proses revitalisasi budaya terhadap tatanan budaya yang kian rusak dalam masyarakat.
4. Memfasilitasi proses-proses pengorganisasian ketika tatanan organisasi masyarakat kian rusak ataupun tidak berfungsi.
5. Memfasilitasi terselenggaranya proses-proses pendidikan kritis dimasyarakat seperti pendidikan politik rakyat, pendidikan hukum kritis, dan pendidikan HAM.
Dalam pelaksanaannya masing-masing LSM tersebut berbagi tugas sesuai dengan Visi dan Misi masing-masing organisasinya. Meskipun demikian tidak jarang berkolaborasi membentuk aliansi dalam menyikapi beberapa permasalahan.

III. Analisis
III.1. Sumatera Barat
III.1.a. Paradigma
Bila dilihat substansi lahirnya kebijakan didaerah tidak lepas dari kepentingan global dan lebih beriorientasi ekonomi. Kenyataan mempertontonkan bahwa dalam proses-proses pembentukan hukum di tingkatan daerah, sebagai misal dalam penyusunan peraturan daerah (Perda) tidaklah kalah besarnya potensi terjadinya praktik-praktik kotor yang merugikan atau mengorbankan kepentingan masyarakat dan proses penyusunannya juga tidak melalui proses transparansi dan akuntabel. Dengan ungkapan lain, dalam tingkatan daerah pun praktik-praktik kolusi dalam proses-proses pembentukan Perda tidak kalah canggihnya dibanding dengan yang terjadi di tingkatan Pusat. Peraturan/kebijakan yang dibuat ditingkat daerahpun lebih banyak yang mengatur tentang retribusi yang itu hanya membebankan kepada masyarakat.
Negara dan pemilik modal (investor) masih merupakan aktor yang paling dominan lahirnya peraturan/kebijakan, sehingga masyarakat selalu ditempatkan dalam posisi yang lemah. Adanya kepentingan kapitalisme global dengan menggunakan tangan pengusaha nasional dan pemerintah dalam lahirnya kebijakan tersebut hanya menguntungkan para pemilik modal dalam mengelola sumber daya alam.
8

III.1.b. Kesenjangan agenda pembaruan hukum negara dengan tuntutan rakyat
Dari segi proses, penyusunan sebuah peraturan/kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak sejalan apa yang menjadi tuntutan rakyat. Kesenjangan ini bisa dilihat dari proses penyusunan suatu peraturan/kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang tidak melalui proses dan mekanisme transparan, akuntabilitas dan responsif. Sementara yang menjadi tuntutan dari rakyat adalah adanya proses dan mekanisme partisipasi publik yang transparan dan akuntabel ketika peraturan/kebijakan tersebut akan dirumuskan. Kesenjangan ini bisa dilihat dari setiap peraturan/kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, misalnya saja peraturan yang dikeluarkan oleh Pemda Provinsi Sumatera Barat tentang pemanfaatan tanah ulayat. Lahirnya kebijakan ini yang tidak melalui proses partisipatif bersama masyarakat ketika merumuskan peraturan ini, sehingga kehadiran ranperda ini tidak banyak mendapat respon oleh masyarakatnya. Dampak nyata dari kurangnya keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan perda tersebut adalah adanya pemahaman yang kurang dan tidak responnya masyarakat terhadap perda tersebut sehingga terjadi penolakan terhadap kehadiran perda tersebut. Masyarakat sebenarnya menginginkan adanya proses partisipasi dan transparan dalam penyusunan peraturan yang akan di buat oleh pemerintah. Dilihat dari rencana strategis pemerintahan Sumatera Barat sudah melakukan upaya untuk mendorong adanya proses transparan dan akuntabilitas dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya, tetapi apa yang sudah dirumuskan dalam rencana strategis tersebut tidak dijalankan dengan baik. Dikabupaten Solok sudah mencoba untuk menerapkan proses dan mekanisme transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan partisipasi masyarakat. Ketentuan ini dituangkan dalam Perda No. 5 Tahun 2005 tentang Transparansi penyelenggaraan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Diharapkan perda ini tidak saja ada dikabupaten Solok tetapi juga dibuat pada tingkat propinsi dan juga tingkat kabupaten dan kota yang ada di Sumatera Barat.
Dari segi substansinya, beberapa peraturan/kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menyikapi otonomi daerah, beberapa diantaranya masih lemah secara segi substansi. Misalnya saja Perda No. 9 tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari dan Ranperda tentang pemanfaatan tanah ulayat. Dalam Perda No. 9 tahun 2000 tidak memuat secara tegas tentang pengakuan terhadap hak-hak ulayat masyarakat. Dan juga yang menjadi masalah utamanya dalam perda No. 9 Tahun 2000 ini adalah masih adanya indikasi peminggiran lembaga adat yang telah ada sejak dulunya secara geneologis dan teritorial dalam pengaturan dan pengurusan nagari secara menyeluruh. Padahal semestinya dalam konteks kembali ke nagari lembaga inilah yang mesti diberdayakan, difasilitasi agar bisa kembali memegang peranan krusial dalam pemerintahan nagari termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada dinagari. Dalam susbtansi perda ini, pemerintah daerah masih besar peranannya dalam mengelola dan mengatur hak-hak ulayat masyarakat. Ranperda tanah ulayat yang dibuat oleh pemerintah Sumatera Barat dari segi substansinya juga kian meminggirkan hak-hak rakyat. Dilihat dari aspek substansinya ranperda tanah ulayat ini ternyata jauh dari harapan rakyat yang sangat membutuhkan perlindungan dan jaminan terhadap tanah ulayat mereka. sehingga terjadi penolakan terhadap ranperda ini. Penolakan seperti itu dapat diapahami karena yang diatur dalam ranperda bukankah upaya perlindungan dan jaminan terhadap tanah ulayat, tetapi hanya mengakomodasi kepentingan pengusaha yang akan membutuhkan tanah sebagai lahan investasi. Sehingga kalau dicermatai secara komprehensif, maka akan ditemui bahwa ternyata isi ranperda hanya mengatur proses peralihan tanah ulayat kepada pihak ketiga (investor).
9
Masyarakat di Sumbar sangat membutuhkan adanya peraturan yang dapat melindungi hak mereka yang sudah terancam oleh pihak luar termasuk pemerintah.
III.1.c. Agenda dan strategi pembaruan hukum alternatif
Selama ini antara agenda pembaruan hukum negara dengan agenda pembaruan hukum yang dilakukan oleh masyarakat selalu bertolak belakang. Peraturan/kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang selalu mendapat kritikan dari masyarakat, adalah bentuk contoh kongkrit bahwa tidak adanya korelasi yang baik antara hukum yang dibuat oleh negara dengan hukum yang sudah ada dalam masyarakat. Ranperda tentang pemanfaatan tanah ulayat dan himbauan walikota Padang tentang wajib pemakain jilbab bagi perempuan di Kota Padang yang ditolak oleh masyarakat adalah bentuk contoh tidak kongkritnya bentuk agenda pembaruan hukum yang dilakukan oleh pemerintah.
Untuk itu negara dalam mendorong agenda pembaruan hukum, yang harus dilakukan adalah dengan mereformasi peraturan/kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan yang baik. Dan perubahan yang dilakukan bukan sekedar penggantian substansi hukum yang lama dengan substansi hukum yang baru, melainkan dan terutama adalah mengadopsi nilai-nilai hukum yang baru yang merupakan kehendak masyarakat dalam upaya mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Nilai-nilai hukum yang baru merupakan refleksi dari nilai-nilai budaya masyarakat di era keterbukaan ini yang menghendaki transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif dalam setiap proses pembuatan sebuah peraturan/kebijakan. Kegagalan menerapkan nilai-nilai ini berakibat pada bentuk resistensi publik terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena itu pembaruan hukum juga harus memproduksi hukum yang membawa nila-nilai budaya dan kearifan-kearifan lokal yang ada dalam masyarakat adalah hal yang terpenting dilakukan oleh pemerintah pada saat ini, untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik. Karena selama ini pemerintah dalam membuat kebijakan jarang memperhatikan hak-hak masyarakat.
Dikalangan masyarakat sipilnya yang harus dilakukan adalah upaya untuk melakukan penekanan kepada pemerintah dalam mendorong upaya pembaruan hukum yang lebih responsif dan hukum yang berpihak kepada masyarakatnya dan melakukan pengawalan setiap prosesnya. Bentuk aksi yang harus dilakukan adalah dengan melakukan kajian-kajian kritis terhadap peraturan/kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah. Selain melakukan kajian kritis penguatan terhadap basis harus tetap dilakukan, karena selama ini banyak yang melupakan tentang penguatan basis masyarakat yang nantinya akan melakukan penekanan terhadap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Untuk menghadapi penolakan-penolakan tersebut hanya dapat diperoleh jika memiliki basis gerakan (pendampingan) yang kuat. Karena gerakan pembaharuan hukum bisa dilakukan tergantung kepada kekuatan basis gerakan.

III.2. Provinsi Riau
III.2.a. Paradigma
Lingkungan hidup dalam konteksnya, telah melahirkan banyak sekali perspektif atau cara pandang yang beragam menyebabkan posisi lingkungan hidup dan sumber daya alam sendiri terposisikan sebagai subyek maupun sebagai obyek. Pertarungan dua
10
poros cara pandang tersebut, dalam prakteknya didominasi oleh pandangan yang menjadikan lingkungan hidup dan sumber daya alam sebagai Obyek.
Lingkungan hidup dan sumberdaya alam pada posisinya sebagai obyek telah melahirkan sejuta bencana yang berdampak bagi kerusakan social budaya, ekonomi bahkan politik. Lingkungan hidup dan Sumberdaya alam, pengelolaannya tidak lagi berdasarkan otoritas pengetahuan local, tetapi melalui berbagai kebijakan pengelolaanya (otoritasnya) lebih dipercayakan pada sekelompok tertentu dengan mengedepankan kekuatan modal.
III.2.b. Kesenjangan agenda pembaharuan Negara dengan tuntutan rakyat
Proses perubahan ekonomi politik yang menjadi tema sentral otonomi daerah, ternyata memunculkan fenomena tersendiri dalam hirarki tata kenegaraan kita. Kontradiksi antara kekuasaan Negara dan kedaulatan rakyat menjadi problem yang signifikan sekaligus kompleks untuk dirumuskan. Dan cukup sulit untuk membuka ruang dimana rakyat mempunyai posisi politik sebagai pemegang kedaulatan dalam arti sebenarnya. Otonomi daerah sejak awalnya telah banyak menyimpan banyak maksud politik. Selain kontradiksi kewenangan juga terjadinya tumpang tindih kekuasaan. Yang kesemuanya menyimpan sejumlah kepentingan ekonomi yang terkait dengan investasi aset alam. Kontradiksi relasi kekuasaan politik tersebut selain dipicu oleh keengganan penguasa pusat melepaskan kewenangan atas hak politik pada daerah, juga disebabkan oleh proses manipulasi pemaknaan atas kepentingan politik rakyat yang berkeinginan agar otonomi merupakan proses transformasi social, politik dan ekonomi dari otoritas penguasa ke otoritas rakyat tanpa menghilangkan fungsi Negara sebagai alat yang mensejahterakan rakyat.

III.2.c. Agenda dan strategi pembaharuan hokum alternative.
Dalam rangka mensukseskan "visi 2020" pemerintah Propinsi Riau beserta Pemerintah kabupaten dan kota telah mengeluarkan banyak sekali agenda guna mendukung terwujudnya visi tersebut , hal ini diwujudkan dengan lahirnya berbagai kebijakan dalam pemanfaatan serta pengelolaan sumber daya alam. Akan tetapi kebijakan yang saat ini telah keluarkan masih jauh dari prinsip berkeadilan dan mensejahterakan masyakat.
Hal lain yang biasa terjadi adalah kebijakan yang baik tetapi karena pada tahap implementasi sama sekali lemah misalnya dalam hal pengawasan, serta penegakan hokum yang tidak tegas kemudian menjadi masalah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik social dan memicu maraknya tindak Kolusi dan Korupsi.

IV. Rekomendasi
IV.1. Sumatera Barat
IV.1.a. Untuk Negara
1. Perlu adanya mekanisme yang jelas tentang bagaimana keterlibatan masyarakat dalam proses melahirkan produk hukum dan kebijakan, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Oleh karena itu, dalam perumusan draft sebuah peraturan, baik yang datang dari eksekutif maupun dari legislatif (pusat maupun daerah) harus mempunyai mekanisme tersendiri yang memungkinkan masyarakat dapat memberikan masukan terhadap draft tersebut.
11
2. Perlu segera adanya upaya kongkrit dari pemerintah untuk sungguh-sungguh membuat aturan yang memuat secara tegas tentang pengakuan dan penguatan hak-hak ulayat masyarakat adat, karena selama ini belum ada peraturan/kebijakan yang secara tegas mengakui hak-hak masyarakat adat. Hal yang terpenting adalah keberlanjutan penguatan terhadap hak ulayat yang sudah dilakukan oleh masyarakat hukum adat (Nagari di Sumatera Barat).

IV.1.b. Untuk Masyarakat Sipil
1. Mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan/kebijakan yang secara tegas memuat tentang pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat.
2. Memperkuat basis gerakan dengan melakukan pengorganisasian secara kontinue (berkelanjutan) dan peningkatan kapasitas dalam melakukan lobby, negosiasi dan analisis untuk mengangkat posisi tawar masyarakat dimata pemerintah.
3. Memperkuat jaringan dengan semua pihak baik itu dengan NGO, Ormas dan Wartawan/media

IV.2. Provinsi Riau
IV.2.a. Untuk Negara
Pertama, paradigma pembangunan seharusnya dirancang agar dapat memberikan ruang terjadinya komunikasi, interaksi dan koordinasi dari berbagai pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam .
Kedua,Perlu koreksi kebijakan nasional, khususnya berkenaan dengan pengertian Hak Menguasai Negara dan pengakuan hak masyarakat atas Sumber Daya Alam.
Ketiga, untuk mewujudkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan dan mensejahterakan masyarakat agenda mendesak yang harus dilakukan adalah menginventarisir semua kebijakan daerah terkait dengan pengelolaan sumber daya alam untuk kemudian disempurnakan atau diganti dengan kebijakan yang baru dengan menerapkan prinsip-prinsip Godgovermance, Demokrasi, HAM, Desentralisasi maupun prinsip-prinsip yang tumbuh dari kearifan tradisional yang telah teruji .
Keempat, Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam secara menyeluruh dan perlu membentuk badan khusus yang independent dan mempunyai kekuatan mengikat dari keputusan yang dihasilkan.
Kelima, melakukan reformasi dibidang kelembagaan, utamanya lembaga peradilan agar sungguh-sungguh dapat berfungsi secara optimal.

IV.2.b. Untuk Masyarakat Sipil
"Teruslah berjuang" mendesakan perubahan di Negara ini dengan terus melakukan konsolidasi antar kekuatan masyarakat sipil.
12

Rabu, 16 Juli 2008

mengambil hati rakyat

MENGAMBIL HATI RAKYAT
Oleh : Jomi Suhendri. S
Email : jomi_suhendri@yahoo.com
(Direktur Perkumpulan Qbar)

“Kemauan masyarakat haruslah menjadi dasar kekuasaan dari sebuah pemerintahan. Kemauan ini haruslah diekspresikan dalam pemilihan umum yang bersih dan diselenggarakan secara periodik dengan berdasarkan pada pemilu yang bisa menjamin hak bagi seluruh anggota serta penyelenggara pemilu tersebut dilakukan secara rahasia atau melalui prosedur pemilihan yang bebas dan berimbang.”
(Terjemahan bebas dari deklarasi universal tentang demokrasi yang disepakati dalam sidang Dewan Antar Parlemen pada bulan September 1997 di Kairo-Mesir)
Kalau tidak ada halangan sesuai dengan keputusan KPU bahwa tepat pada tanggal 9 April 2009 pemilihan umum akan diselenggarakan di Indonesia. Untuk kedua kalinya pemilihan umum akan dilaksanakan secara langsung, dimana rakyat secara bebas menentukan pilihannya dalam memilih pemimpin mereka yang nanti diharapkan bisa membawa hidup mereka akan menjadi lebih baik. Sebanyak 34 partai politik sudah dinyatakan lolos verivikasi dan berhak untuk mengikuti Pemilu 2009 oleh KPU. Kebahagian yang dirasakan oleh partai politik yang dinyatakan lolos verivikasi dan ikut dalam pemilu 2009 oleh KPU, sama sekali tidak dirasakan oleh sebagian masyarakat. Sebagian dari masyarakat terlihat tenang-tenang saja menyikapi hasil keputusan KPU yang mengumumkan partai politik lolos verifikasi dan berhak untuk ikut dalam pemilu 2009.
Sikap masyarakat tersebut bisa dimaklumi, karena harapan mereka selama ini untuk bisa menitipkan kepada wakil mereka yang duduk sebagai wakil rakyat baik di DPR RI maupun di DPRD melalui partai politik belum bisa sepenuhnya membawa perubahan dan manfaat dalam kehidupan mereka. Banyaknya kasus yang menimpa kalangan anggota DPR dan DPRD semakin mempertegas keraguan masyarakat untuk bisa menitipkan sebuah harapan yang akan membawa kehidupan mereka akan menjadi lebih baik dan memperjuangkan aspirasi mereka kelak. Untuk itu partai politik yang sudah dinyatakan lolos dan berhak untuk mengikuti pemilu 2009 dibutuhkan kerja keras untuk bisa meyakinkan konstituen meraka, agar bisa meraih suara dengan sebanyak-banyaknya.
Sudah merupakan kelaziman, dimana pada saat mendekati pemilu, masing-masing partai politik dan caleg sudah mulai sibuk dan memperlihatkan jati dirinya. Masing-masing partaipun mulai berhias dan mempercantik diri untuk bisa menebar pesona agar mereka bisa dilirik oleh rakyat dan bisa mengambil hati rakyat. Program-program kerja dan Janji-janji pun mulai disebar untuk bisa meyakinkan masyarakat bahwa mereka akan bisa membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Ibarat para pendekar silat masing-masing sudah mempersiapkan jurus yang jitu untuk bisa memenangkan sebuah pertandingan. Bagi siapa yang ahli dalam bersilat tentu akan bisa memenangkan dalam sebuah pertandingan. Dan tentu ini juga perlu dukungan dan support dari rakyat untuk bisa memenangkan sebuah pertandingan.
Apakah harapan rakyat di era reformasi ini tetap terpelihara dan menjadi inspirasi bagi semua upaya-upaya perbaikan dan apakah dengan dilaksanakannya pemilu sekali dalam 5 tahun ini untuk memilih wakil mereka yang nantinya akan duduk sebagai anggota dewan bisa membawa harapan yang lebih baik ?. Pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban dan langkah-langkah konkret dari parpol dan caleg yang nantinya akan duduk sebagai anggota dewan. Apapun usaha yang sekarang dilakukan oleh partai politik dan caleg untuk memberikan janji-janji manis dan indah tidak akan berpengaruh bagi rakyat apabila janji-janji tersebut tidak dibuktikan dalam bentuk kerja konkrit oleh caleg yang nantinya akan duduk di kursi legislatif.
Rakyat sekarang tidak membutuhkan sebuah omongan manis, akan tetapi yang dibutuhkan bagi mereka adalah sebuah langkah nyata dari caleg untuk bisa memperjuangkan nasib mereka kelak. Mengambil hati rakyat seharusnya tidak saja dilakukan pada saat mendekati pemilu, akan tetapi setiap saat apabila rakyat membutuhkan bantuan dimana mereka tidak bisa berbuat banyak untuk melakukannya sendiri untuk menyampaikan keluhan mereka. Paling tidak ada langkah kongkrit yang harus dilakukan oleh caleg apabila mereka terpilih nantinya menjadi anggota dewan. Banyak persoalan yang perlu ditangani dengan sungguh-sungguh oleh caleg yang nanti akan duduk menjadi wakil rakyat. Membantu penyelsaian konflik masyarakat adalah salah satu agenda yang perlu jadi prioritas oleh caleg.
Konflik pertanahan yang sampai saat ini masih sering terjadi di Sumatera Barat perlu dilakukan perhatian yang serius. Banyak konflik tanah ulayat yang terjadi di Sumatera Barat, konflik tanah ulayat di Nagari Mungo Kabupaten Lima Puluh Kota misalnya yang sampai saat ini masih belum terselesaikan. Untuk itu dibutuhkan good wiil dari caleg untuk bisa memberikan yang terbaik bagi masyarakat yang nanti akan mengantarkan mereka duduk di badan legelitatif nantinya. Dan jangan sampai ketika duduk menjadi anggota dewan membuat sebuah kebijakan/peraturan yang akan merugikan kepentingan masyarakat. Ambil lah hati rakyat setiap saat dan jangan pada saat mendekati pemilu saja. Kami tunggu janji-janji mu.

Rabu, 11 Juni 2008

Hutan Di Kelola

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat
Oleh : Jomi Suhendri. S

Dalam banyak kasus, kekayaan hutan alam Indonesia seringkali menimbulkan konflik di tengah masyarakat, baik konflik antara pemerintah dengan masyarakat maupun konflik antara masyarakat dengan masyarakat itu sendiri. Dari sekian banyak konflik yang sering mencuat ke permukaan, konflik yang berkaitan dengan pengelolaan hutan merupakan hal yang paling sering terjadi.
Dampak dari konflik itu, tak jarang menimbulkan berbagai dampak yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat itu sendiri, seperti hilangnya akses masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Padahal, selama berabad-abad mereka telah menggantungkan kehidupannya pada hutan dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Berangkat dari persoalan itulah, semestinya pemerintah harus mendorong lahirnya kebijakan pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat.
Di Sumatera Barat (Sumbar), sistem pengelolaan hutan berdasarkan kearifan lokal dan diatur menurut ketentuan hukum adat setempat telah lama ada. Dalam hukum adat Minangkabau, hal itu dikenal dengan istilah ‘tanah ulayat’. Tanah ulayat secara sederhana bisa diartikan sebagai satu kesatuan wilayah yang mempunyai hak, baik itu hak ulayat kaum, hak ulayat suku maupun hak ulayat nagari. Tanah ulayat bisa berupa hutan maupun parak (kebun), sawah dan fungsi lainnya, yang secara arif difungsikan oleh masyarakat adat di Sumbar sesuai dengan kebutuhan dan ekologi.
Konsep pengelolaan hutan seperti itu sebenarnya sudah ada dalam masyarakat adat yang diwariskan secara turun temurun. Bahkan, hingga saat ini, konsep pengelolaan hutan yang berdasarkan pada kearifan lokal ternyata mampu membuktikan kalau pengelolaan yang berbasiskan pengalaman, pengetahuan dan teknologi lokal mampu meningkatkan ekonomi masyarakat, serta menjaga fungsi ekologi hutan dan tidak melulu eksploitatif. Kita bisa melihat konsep pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat adat di Koto Malintang, Kabupaten Agam, Sumbar. Di daerah ini, sistem pengelolaan hutannya dikenal dengan istilah ‘parak’, istilah yang dikenal luas di Minangkabau. Parak di Koto Malintang ini menghasilkan hasil hutan yang khas, baik untuk dijual maupun untuk kebutuhan harian, termasuk kayu bangunan, kayu bakar beserta hasil hutan ikutan seperti buah hutan liar dan sayuran, bahan obat dan lain-lain.
Di dalam parak juga ditanami pohon-pohon jenis usaha tani seperti durian, kayu manis, pala, kopi dan tanaman buah budi daya serta tanaman berumur pendek seperti cabai, tanaman berumbi, kacang-kacangan. Dalam parak, pola produksi dan perkembangan spesies mirip dengan yang terjadi pada ekosistem hutan alami. Ternyata pengelolaan hutan seperti ini bisa menjaga kelestarian hutan tanpa merusak ekosistem yang terdapat didalamnya. UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan seharusnya bisa memberikan jaminan kepada masyarakat baik dari segi kepemilikannya, penentuan kawasan dan hak pengelolaannya.
Akan tetapi, sebagai dasar pengaturan tentang hutan, dalam UUK ini masih terdapat kelemahan-kelamahan dalam penghormatan terhadap hak masyarakat adat. Salah satunya tercermin dengan tidak diakuinya status hutan adat.Walaupun dalam pasal 5 ayat 2 dijabarkan bahwa hutan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat tapi itu tidaklah cukup untuk melindungi dan menghormati hak masyarakat adat terhadap hutan, karena secara tersirat negara disatu sisi berusaha untuk menghilangkan keberadaan hutan adat. UUK ini bila kita lihat dari substansinya secara politik hukum masih menganut paradigma pengelolaan hutan yang masih didominasi oleh negara dan tidak mengarah sisitim pengelolaan hutan berbasis pada masyarakat adat.
Dalam UUK kehutanan ini juga tergambarkan masih kuatnya keinginan pemerintah dalam hal ini Dephutbun untuk tetap mempertahankan kontrol dan penguasaan terhadap kawasan hutan dan sumber daya hutan. Semangat kontrol dan penguasaan ini terlihat dari pasal 4 mengenai penguasaan kehutanan.Menurut saya, sudah saatnya pemerintah melakukan revisi terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan ini agar kepentingan masyarakat adat terlindungi dan akses masyarakat adat terhadap hutan dalam pengelolaan hutan lebih besar.Konsep pembangunan dan pengelolaan hutan untuk masa depan harus mengalami reformasi total menuju kepada pemberdayaan masyarakat sekitar. Kegagalan konsep ini akan membawa sumberdaya hutan kita menuju jurang kehancuran yang lebih dalam, sekaligus merupakan ancaman terhadap sistem pembangunan yang berkelanjutan

Mengelola Asset Nagari

MASYARAKAT ADAT DALAM MENGELOLA ASET NAGARI
Oleh : Jomi Suhendri. S

Istilah masyarakat adat mulai disosialisasikan di Indonesia pada 1993 oleh Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA), yang digerakkan oleh sejumlah tokoh adat, akademisi dan aktivis LSM. Mereka menyepakati penggunaan istilah masyarakat adat sebagai istilah umum karena sebutan untuk kelompok masyarakat lokal waktu itu sangat beragam. Pada saat itu, secara umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan. Sedangkan pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya menurut suku masing-masing.
Dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara I yang diselenggarakan pada Maret 1999, disepakati bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat. Di negara lain, terdapat sejumlah istilah yang merujuk pada masyarakat adat, diantaranya first peoples di kalangan antropolog dan pembela, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan orang asli di Malaysia. Sementara, PBB menyepakati istilah indigenous peoples sebagaimana tertuang dalam seluruh dokumen yang membahas salah satu rancangan deklarasi PBB, yaitu draft of the UN Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples.
Di era otonomi, Pemerintah Daerah (Pemda) di Sumatera Barat (Sumbar) memberikan kewenangan kepada nagari untuk mengelola dan memanfatkan asset yang mereka miliki. Hal itu, dituangkan dalam Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari yang saat ini sedang dalam proses revisi. Perda itu menjelaskan bahwa asset nagari atau harta kekayaan nagari adalah harta benda yang telah atau kemudian menjadi harta kekayaan nagari baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Dijelaskan juga, yang termasuk dalam kekayaan nagari adalah pasar nagari, tanah lapang atau tempat rekreasi nagari, balai atau mesjid, tanah, hutan, tambang, batang air, tebat, danau dan atau laut yang menjadi ulayat nagari, bangunan yang dibuat oleh penduduk perantau untuk kepentingan umum, harta benda dan kekayaan lainnya, yang semua itu masuk dalam asset nagari.Dalam pengelolaan asset nagari, masing-masing nagari di (Sumbar) memiliki sistem dan mekanisme sendiri.
Di nagari Sungai Kamunyang, Kabupaten Lima Puluh Kota, misalnya, asset nagari berupa kolam renang yang airnya berasal dari aliran air batang tabik dikelola secara bergantian oleh masyarakat atau kelompok pemuda di tingkat jorong. Pengelolaan dilakukan dengan menggunakan sistem lotting (diundi), kelompok yang menang lotting akan mendapatkan giliran pertama mengelola kolam renang dan diberikan kesempatan untuk mengelola kolam renang selama satu tahun. Mereka mengelola kolam berdasarkan kontrak yang dibuat oleh pemerintahan nagari.Pengelolaan kolam renang ini merata untuk semua kelompok yang ada di setiap jorong. Bagi kelompok yang mengelola kolam renang harus membayar semacam kontibusi kepada nagari. Sementara, dalam pengelolaan tanah ulayat di Nagari Sungai Kamuyang juga diatur oleh hukum adat setempat. Pemanfaatan tanah ulayat lebih diutamakan untuk kepentingan anak Nagari Sungai Kamuyang. Luas tanah ulayat nagari yang dapat diberikan untuk dimanfaatkan oleh anak nagari maksimal 0,25 Ha dan dapat dimanfaatkan oleh badan usaha dengan luas maksimal 10 Ha. Selain itu, tanah ulayat juga bisa digunakan sebagai lahan pertanian dan tempat tinggal bagi masyarakat setempat. Setiap pengelolaan tanah ulayat dikenakan biaya yang disebut dengan bunga tanah dan setiap orang berkewajiban untuk membayarnya. Besar bunga tanah ulayat ini diatur dalam Peraturan Nagari No. 01 Tahun 2003 tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat yang ditetapkan 5 April 2003.
Lain halnya di Kanagarian Simarasok, Kabupaten Agam. Asset nagari berupa sarang burung wallet pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat atau pemuda di nagari setempat. Untuk mengelola sarang burung wallet dibentuk kelompok atau pengurus dalam nagari yang bertugas mengatur bentuk dan sistem pengelolaan, termasuk pembagian hasil panen. Biasanya, panen dilakukan berkisar antara 2-3 bulan dengan hasil mencapai 1 ton setiap kali panen. Namun, sangat disayangkan, sejauh ini asset tersebut tidak dikelola secara baik sehingga hanya dinikmati oleh sekelompok orang saja. Bahkan, tak jarang hal itu justru menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Sistem pengelolaan asset di dua nagari di atas, merupakan contoh pengelolaan aset berdasarkan hukum adat setempat. Masing-masing nagari di Sumbar, tentu saja juga memiliki ketentuan dan hukum sendiri dalam mengelola kekayaan nagari mereka.
Sekarang, tinggal bagaimana ketentuan tersebut tidak saling bertentangan sehingga menimbulkan konflik di tengah masyarakat.Saya percaya, masyarakat adat mampu memanfaatkan dan mengelola asset nagari dengan sebaik-baiknya. Masing-masing nagari, seperti diketahui, memiliki kearifan lokal yang telah dijalankan secara turun temurun. Masing-masing generasi, bertanggungjawab menjaga asset itu agar pengelolaannya tidak jatuh pada pihak ketiga yang belum tentu dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya.
Berhubung revisi perda No. 9 tahun 2000 saat ini sedang dibahas, para pengambil kebijakan seharusnya mengarahkan revisi tersebut pada upaya memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Satu hal yang harus dipertimbangkan adalah mempertegas kewenangan yang diberikan kepada unsur-unsur yang ada di nagari dalam hal pengelolaan asset nagari. Artinya, melalui revisi itu diharapkan pemerintah daerah dapat lebih memperhatikan kepentingan hak-hak masyarakat adat. Bila hal itu tidak dilakukan, artinya keberadaan masyarakat adat dan kearifan lokal yang mereka miliki akan semakin terpinggirkan. Jangan sampai, upaya negara memperhatikan dan melindungi hak masyarakat adat hanya sekadar wacana.

Peradilan Adat Di Sumatera Barat

Peradilan Adat Tempat Penyelesaian Sengketa Alternatif
Oleh : Jomi Suhendri. S (Direktur Qbar)

Sistem peradilan sederhana, cepat dan murah dari dahulu hingga sekarang tidak pernah terwujud. Salah satu sebabnya adalah hambatan yang terdapat dalam hukum nasional yang merupakan warisan Kolonial Belanda. Agenda politik negara kolonial dalam hukum nasional telah mewarnai berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bahkan praktek pengadilan seolah mengikuti jalur pendekatan politik birokrasi nasional, yaitu membangun jaringan korporasi dengan elit lokal. Sehingga struktur birokrasi menjadi struktur pembagian keuntungan yang bermakna politik maupun ekonomi. Dan sebagian kasus yang diputuskan sering tidak menjawab rasa keadilan ditingkat masyarakat. Untuk diperlukan sebuah peradilan alternatif untuk menjawab persoalan yang dihadapi oleh peradilan negara, salah satunya adalah dengan melihat kembali peradilan adat.
Keberadaan peradilan adat di Indonesia sudah berlangsung untuk kurun waktu yang cukup lama. Menurur Prof Hilman Hadikusuma, jauh sebelum agama Islam masuk di Indonesia, negri yang serba ragam penduduknya ini sudah lama melaksanakan tata tertib peradilan menurut hukum adat (Hadikusuma, 1989;“orang Indonesia asli“ berhadap dengan apa yang dinamakan“gouvernement rechtsspraak“ (peradilan governemen) terutama didaerah-daerah yang dikuasai oleh belanda. Secara historis hukum adat dipandang sangat demokratis karena is lahir melalui proses dan seleksi yang panjang. Kemakmuran dan kepentingan serta kelangsungan hidup masyarakat adalah prioritas utama dalam hukum adat. Hukum adat memberikan keadilan dan rasa keamanan pada siapapun, selagi mentaati clan mematuhi ketentuan yang berlaku dalam masyarakat hukum adat.
Persoalannya, kenapa sekarang diantara masyarakat mulai meninggalkan hukum adat dan memilih kukum negara dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi?. Padahal kewenangan untuk menyelesaikan perkara, apakah itu pada tingkat peradilan adat atau peradilan negara, merupakan menjadi tanggung jawab pihak yang bersengketa. Pertanyaan ini semangkin penting, bahwa pada kenyataannya peradilan negara juga bukan merupakan jaminan bagi menyelesaikan substansi persoalan yang mereka hadapi. Problematika Peradilan AdatProblematika yang dihadapi oleh peradilan adat pada saat sekarang adalah pertama, di satu pihak masyarakat adat memaknai peradilan adat sebagai satu bagian yang terintegrasi utuhdengan sistem nilai dan sistem sosial yang mereka anut.
Pada bagian lain, negara hadir dengan sistem nilai dan sistem sosialnya sendiri yang seringkali mengatasi, mendominasi, bahkan merepresi keberadaan masyarakat adat beserta sistem-sistem kehidupan mereka. Ini yang dikenal sebagai peminggiran atau penghancuran sistemis terhadap komunitas-komunitas masyarakat adat. Kedua, sebagai bagian dari masyarakat global, masyarakat adatpun tidak lepas dari pengaruh interaksa dengan dunia luarnya. Implikasi dari interaksi ini adalah penyerapan atau pemaksaan berlakunya sistem-sistem yang datang dari luar. Dalam hubungannya dengan sistem peradilan negara, peradilan adat menghadapi tantanganupaya penyeragaman sistem hukum, termasuk sistem peradilan. Ketiga, jurang pengetahuan dan kepedulian yang dalam antar generasi tua dan generasi muda masyarakat adat tentang berbagai sistem sosial, budaya, politik, hukum dan peradilan adat, ekonomi dan kepercayaan yang menyertai keberadaan masyarakat adat. Keempat, sebagian dari masyarakatnya dan tidak lagi mempercayai keputusan dari peradilan adat yang sudah diputuskan melalui peradilan adat, dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap orang yang memutuskan perkara tersebut, sehingga sebagian dari masyarakatnya yang tetap membawa kasusnya diselesaikan ditingkatkan peradilan negara.
Dalam perspektif kembali kepemerintahan nagari ini dibuka peluang untuk merevitalisasi kembali peradilan adat di Sumatera Barat. Peluang ini juga pontesial sebagai salah satu upaya untuk mengurangi penumpukan pekari di pengadilan negara. Disamping itu, peradilan negara juga harus kreatif memberikan dan menciptakan peluang bagi masyarakat yang berperkara untuk menemukan upaya perdamaian. Revitalisasi peradilan adat di Sumatera Barat, setidak-tidaknya, telah perna dicontohkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Sumatra Barat melalui Surat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Barat No. W3. DA. HT.04.02-3633 tanggal 27 Mei 1985 tentang pemberlakuan hukum adat di Minangkabau mengenai sengketa tanah pusaka tinggi, yang dikuatkan dengan surat edaran LKAAM No. 07/LKAAM-SB-VI-1985 tanggal 10 Juni 1985 perihal penyelesaian sengketa perdata adat. Tetapi kebijakan itu belum efektif dapat meredam intensitas perkara di Sumatera Barat, karena berbagai faktor interen sumberdaya hakim pengadilan yang mau menghargai proses adat tersebut, maupun faktor dari masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu sudah saatnya mulai dari sekarang masyarakat hukum adat di Sumatera Barat untuk menghormati hukum adat mereka sendiri. Dan tidak semua kasus-kasus yang seharusnya bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah, harus diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Tulisan ini pernah diterbitkan di Harian Padang Ekspres tanggal 18 September 2005

Tanah Ulayat

Pentingkah Tanah Ulayat Diatur dengan Perda ?
Oleh : Jomi Suhendri. S (Direktur Qbar)

TANAH Ulayat adalah aset di Sumatera Barat yang tidak ternilai harganya, dan kewajiban semua orang untuk menjaga dan memeliharanya agar tidak hilang digilas oleh perkembangan zaman. Ada ungkapan dalam adat Minangkabau yang pesannya menyampaikan kepada para generasi, bahwa semua orang berkewajiban untuk menjaga dan mempertahankan tanah ulayat agar tidak habis. Bunyi pepatah tersebut adalah “Nan ketek dipagadang ,Nan hanyut dipintasi ,Nan hilang dicari ,Nan patah ditimpa ,Nan sumbiang dititik ,Nan buruak dipaelok “. Dalam pepatah ini terkandung makna yang sangat mendalam, betapa berharganya tanah ulyat bagi kehidupan masyarakat hukum adapt di Sumatera Barat. Tanah ulayat merupakan pengikat bagi masyarakat adat di Sumatera Barat agar hubungan antara sesama suku tetap terjaga dengan utuh.
Pada tahun 2001, Pemerintahan Daerah (pemda) Propinsi Sumatera Barat membuat Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat yang mengatur tentang pengelolaan tanah ulayat di Sumatera Barat. Dalam Ranperda ini salah satu pasalnya mengatur tentang pemanfaatan dan penggunaan tanah ulayat di Sumatera Barat. Seberapa pentingkah tanah ulayat diatur dengan perda, dan apakah satu-satunya cara untuk pengaturan dan pengelolaan tanah ulayat di Sumatera Barat diatur dengan perda, dan seberapa besarkah bentuk pengakuan terhadap hak-hak masyarakay hukum adat terakomodir dalam perda tersebut, ini perlu dijadikan bahan diskusi bersama agar kelestarian tanah ulayat di Sumatera Barat ini terjaga dengan baik. Sudah banyak para kalangan yang menulis dan membahas tentang tanah ulayat serta permasalahan-permasalahannya, dan hampir semua orang sependapat bahwa tanah ulayat di Sumatera Barat ini perlu untuk dijaga .
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurnia Warman dan Rahmadi (tahun 2003) tentang “Hak Ulayat Nagari Atas Tanah di Sumatera Barat”, menegaskan bahwa produk hukum/kebijakan yang berkaitan dengan bidang pertanahan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah di Sumatera Barat belum mencerminkan semangat reformasi agraria sebagaimana telah dirumuskan dalam UUPA. Kebijakan dan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (pemda) justru beriorientasi kepada pemasukan ke kas derah, sehingga banyak diantara paraturan/kebijakan yang dikeluarkanhanya mengatur tentang retribusi pemakaian tanah yamg justru semakin menambah beban bagi rakyat.
Pada tingkatan pemda, kebijakan yang diambil tampaknya masih lebih beriorientasi kepada kepentingan pemerintah dan investor, sedangkan pada tingkat nagari sudah terlihat kecendrungan atau adanya upaya untuk melindungi hak-hak komunitas atas tanah. Dari hasil penelitian ini terlihat jelas bahwa peran pemerintah daerah (pemda) cukup besar dalam mengatur dan mengelola tanah ulayat seharusnya pemerintah daerah dapat memberikan ruang bagi masyarakat hukum adat untuk bisa mengatur dan mengelola tanah ulayatnya sendiri. Dan sudah saatnya peraturan/kebijakan yang dibuat untuk dapat memikirkan kepentingan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya. Di Sumatera Barat masyarakat hukum adatnya sudah mempunyai sistem dan mekanisme tersendiri dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah ulayat. Paling tidak pengelolaan dan pemanfaatan tanah ulayat ini telah perna diterapkan di Nagari Sungai Kamuyang Kabupaten Limapuluh Kota.
Pengaturan tanah ulyat diatur dalam peraturan Nagari No. 1 Tahun 2003. tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat. Dalam peraturan nagari ini mengatur tentang pemanfaatan tanah ulayat nagari dan luas yang dapat diberikan, hak dan kewajiban sipemanfaat tanah ulayat nagari dan ketentuan sanksi yang diberikan bila sipemanfaat yang menyalahgunakan pemanfaatan tanah ulayat ini. Di Nagari Simarasok juga diatur, melalui pernak No. 1 Tahun 2002 tentang Teritorial dan Ulayat Nagari Simarasok, dalam peraturan nagari ini mengatur tentang pengelolaan terhadap hak ulayat nagari termasuk tanah ulayat. Dan banyak lagi nagari-nagari di Sumatera Barat yang sudah mempunyai aturan tersendiri dalam mengelola dan memanfaatkan tanah ulayat memurut ketentuan hukum adat. Jadi tidak perlu lagi pemanfaatan dan pengelolaan tanah ulayat diaturdengan perda, karena dalam ketentuan hukum adat di Minangkabau sudah ada system dan mekanisme tersendiri dalam pengaturan dan pengelolaan tanah ulayat di Sumatera Barat.
Bagaimanakah peran pemerintah daerah dalam hal ini. Seharusnya pemerintah daerah (pemda) sudah saatnya memikirkan sebuah peraturan/kebijakan yang dapat melindungi hak-hak dan kepentingan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Bisa saja peraturan yang harus dibuat oleh pemerintah Daerah (pemda) adalah bentuk pengakuan secara tegas terhadap hak-hak ulayat masyarakat hukum adat di Sumatera Barat, agar kepastian hukum dari kepemilikan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat terjaga dan terlindungi. Sementara untuk bentuk pengelolaan dan pemanfaatannya serahkan saja kepada masyarakatnya, karena mereka sudah punya aturan tersendiri dalam mengelola tanah ulayat. Dan kepada DPRD Sumbar yang ingin melanjutkan agar Ranperda Pemanfaatan Tanah Ulayat ini dibahas lagi untuk dapat memikirkan secara matang sebelum Ranperda ini disahkan menjadi perda, dan jangan sampai kehadiran ranperda ini akan menimbulkan konflik dalam masyarakat hukum adat di Sumatera Barat.
Tulisan ini pernah diterbitkan di Harian Padang Ekspres tanggal 18 Oktober 2005